Kaum Marhaen, di Mana Senjakala Suatu Ideologi?
Ia mencoba menggelorakan semangat merdeka. Gelora itu terkesan lucu. Betapa pun perempuan menempel kelembutan dan gemulai. Di panggung rapat akbar kaum Marhaen, ia tetap menjadi pemantik semangat kerakyatan. Simbol kekuatan rakyat di lautan massa dan memerahkan suasana. Megawati menjadi simbol kekuatan itu -- di panggung kampanye di depan kader-kader partai berlambang banteng.
Megawati Soekarnoputri memang seorang ibu, tapi bukan ibu rumahan. Ketika mengkritik emak-emak yang antre minyak goreng, Megawati jelas sedang mengundang kita untuk ketawa.
Megawati menjadi trending di Twitter dengan tagar #BuMega. “Bukan masalah mahalnya beli minyak goreng. Saya itu sampai mikir, jadi tiap hari ibu-ibu itu apakah hanya menggoreng? Sampai begitu rebutannya? Sampai kalau sekarang kita lihat toh hebohnya urusan beli minyak goreng. Saya itu sampai ngelus dada".
Megawati pun mengajak ibu-ibu di Indonesia untuk mengolah makanan dengan cara lain selain menggoreng. “Apa tidak ada cara merebus atau mengkukus atau seperti rujak?” Makanan jenis itu, kata Megawati, lebih menyehatkan dan menjadi ciri khas masyarakat Indonesia dalam memasak. Presiden RI ke-5 berujar: “Itu menu Indonesia lho. Lah kok jelimet (rumit) gitu!".
Respon Megawati bikin kontroversi. Ia justru tak berempati pada kaum ibu yang antre minyak goreng. Minyak goreng yang langka dan sulit di pasaran. Megawati justru menambah kelucuan: suatu negeri yang kaya akan kelapa sawit tapi justru minyak goreng sulit dicari. Seperti lucunya suatu negeri bahari, tapi garam impor dari luar negeri. Swasembada pangan di negeri yang kaya lahan pertanian, tapi para penggede cari untung dari impor beras yang belum tentu pulen rasanya.
Mega dan Bung Karno
Merenungkan pernyataan Megawati itu, saya pun teringat Sukarno. Membuka pandangan Bung Karno yang peduli akan nasib kaum cilik -- kaum mustadh'afin yang diperjuangkan Sang Proklamator sejak zaman Hindia Belanda.
Fragmen pertemuan Bung Karno dan seorang petani di zaman Hindia Belanda memberikan gambaran tentang semangat sosialisme indonesiawi, yang khas.
Suatu pagi di tahun 1920-an, Sukarno mengayuh sepeda tak tentu arah dan tujuan. Hingga tanpa sadar dia sudah ada di pelosok Bandung bagian selatan. Pandangannya membentur sosok petani yang tengah mencangkul sawah. Dia menghentikan sepedanya dan mendekati sang petani. Terjadilah dialog cukup akrab dikisahkan dalam otobiografinya, seperti dituturkan kepada Cindy Adam, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
“Siapa pemilik tanah yang kau garap ini?” tanya Sukarno.
“Saya, Juragan,” jawab sang petani.
“Apakah kau memiliki tanah ini bersama-sama dengan orang lain?”
“Oh tidak, Gan. Saya memilikinya sendiri.”
“Apa kau membeli tanah ini?”
“Tidak. Tanah ini diwariskan secara turun temurun dari orangtua saya.”
“Bagaimana dengan sekopmu? Milikmu juga?”
“Ya, Gan.”
“Dan cangkul itu?”
“Milik saya juga, Gan.”
“Bajak?”
“Juga milik saya.”
“Lalu hasilnya untuk siapa?”
“Untuk saya, Gan.”
“Apakah hasilnya cukup untuk kebutuhanmu?”
“Bagaimana mungkin sawah yang begitu sempit ini bisa cukup untuk memenuhi kebutuhan seorang istri dan empat anak?”
“Tapi semua ini milikmu?”
“Iya, Gan.”
Sukarno terus melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang bergejolak di hatinya. Pada ujung pertemuan itu, dia teringat teori yang diajukan ahli ekonomi tentang suatu kelas yang disebut sebagai “penderita minimum”. Inikah dia?
“Siapa namamu?”
“Marhaen.”
Simbol Suatu Ideologi
Berbeda dengan Komunisme yang menekankan pada pertentangan kelas, kita dipahamkan posisi kelas proletar harus merebut kekuasaan dengan cara kekerasan, Marhaenisme lebih menekankan kepada pembebasan rakyat kecil dari penindasan.
Marhaenisme memang menggunakan konsep Marxisme sebagai pisau analisisnya. Namun, dalam Marhaenisme tidak menyinggung perjuangan kelas. Dalam ajaran Marhaenisme, terdapat golongan Marhaenis yang merupakan kaum menengah atas yang sama-sama membangun dan berjuangan membebaskan kaum Marhaen. Dengan dasar tujuan bukan untuk menciptakan masyarakat tanpa kelas seperti dalam ajaran Marxisme, akan tetapi mewujudkan masyarakat tanpa penindasan.
Sejak bertemu dengan Marhaen, Sukarno kerap menyebut ajaran-ajarannya sebagai marhaenisme. Ide ini bertolak dari sosialisme dan keyakinan Sukarno akan penemuan kembali kepribadian rakyat Indonesia. Bung Karno lantang berujar: “Marhaenisme adalah sosialisme Indonesia dalam praktek!".
Marhaenisme adalah Marxisme yang disesuaikan dengan kondisi sosial politik di Indonesia. Untuk memahami ajaran Marhaenisme, seseorang haruslah juga memahami kondisi sosial politik di Indonesia terlebih dahulu.
Kaum Marhaen merupakan istilah yang digunakan Sukarno untuk menggantikan istilah proletar, yang digunakan Marx dalam pemikirannya mengenai pertentangan kelas. Sukarno mengistilahkan Kaum Marhaen bukan sebatas kepada buruh semata. Namun, seluruh rakyat kecil, termasuk rakyat yang memiliki sumber daya terbatas yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri saja. Bila Marxisme berbicara mengenai pertentangan kelas, maka Marhaenisme lebih menekankan kepada perjuangan kelas.
Dalam Marhaenisme partai politik berfungsi sebagai penggugah kesadaran kader partai ataupun masyarakat agar mampu melakukan perubahan-perubahan di masyarakat yang lebih luas. Untuk itu dibutuhkan pendidikan politik yang baik. Melalui pendidikanlah kesadaran tersebut bisa dicapai. Pemimpin partai dalam ajaran Marhaenisme haruslah seorang yang kuat dan memiliki kecenderungan diktatorial meski Sukarno menolak bentuk kepemimpinan yang teramat sentralitik. Dalam ajaran marhaenisme partai juga harus memiliki disiplin yang ketat.
PDI Perjuangan adalah partai politik yang menggunakan Marhaenisme sebagai haluan politiknya. Partai berlambang banteng (dengan ekspresi berbeda tapi tetap bersimbol banteng, dari PNI hingga PDIP) merupakan partai politik yang secara genealogis memiliki hubungan dengan PNI, yang merupakan partai politik pertama yang menggunakan Marhaenisme sebagai haluan pergerakannya. Meski sempat mengalami fusi pada 1973, dan mengalami tekanan rezim Orde Baru, jiwa Marhaenisme tidak pernah lepas dari PDI terutama setelah masuknya kembali keturunan Sukarno ke dalam PDI.
PDI hasil fusi 1973 merupakan penggabungan dari lima partai politik yang berbeda, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Murba, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Katholik. PDI kemudian banyak mengalami konflik yang berkepanjangan. Faktor-faktor penyebabnya adalah karena perbedaan latar belakang ideologis di antara lima partai tersebut. Dominasi PNI dalam berbagai simbol, lambang, dan elemen partai lainnya, ditambah konflik pribadi untuk memperebutkan kursi Ketua Umum, serta intervensi dari pemerintah Orde Baru semakin menambah dinamika konflik di dalam tubuh partai PDI.
Puncak dari konflik tersebut adalah antara PDI versi Soerjadi yang didukung oleh pemerintah, dengan PDI versi Megawati. Perpecahan tersebut kemudian menyulut konflik fisik pada tanggal 27 Juli 1996. Setelah Reformasi, PDI versi Megawati kemudian membentuk PDI Perjuangan pada tanggal 1 Februari 1999, seiring dengan jatuhnya Pemerintahan Orde Baru.
Kehebatan yang dulu telah berperan besar ikut memerdekaan bangsa Indonesia itu, sekarang ternyata hanya menjadi sebatas cita-cita Karena, sekarang cita-cita itu tidak nyambung dengan keinginan massa rakyat, karena ideologi itu tidak terintegrasikan dalam dinamik dan gerak aspirasi masyarakat.
Kini, kita menyaksikan zaman dengan tegas berjalan sepi ideologi. Pemahaman penganut Marhaenisme terhadap ideologi Marhaenisme-nya hanya sebatas demagoginya, pada puja-puji yang seremonial sifatnya. Sehingga mereka kurang memahami bagaimana bahaya kapitalisme yang sudah sedemikian mengerikannya. Dalam diskusi dengan Imam Yudotomo, sosialis dari Yogya, sebenaranya justru sangat tidak disukai Bung Karno sendiri. Bung Karno selalu mengatakan dengan tegas perlunya kerja dan kerja yang nyata! Dan menurut Bung Karno, kerja yang nyata itu adalah machtsvorming. Artinya menggalang seluruh kekuatan secara nyata untuk menentang kekuatan yang menyengsarakan rakyat. Menggalang kaum buruh untuk menuntut perbaikan nasibnya.
Ya begitulah perjalanan suatu ideologi. Antara Bung Karno dan Megawati, kita bisa membedakan pandangan di antara keduanya.
Kita selalu menyaksikan gelora ide-ide tentang masa depan Indonesia dari Bung Karno. Membaca fragmen sejarah, kita terpacu akan praktik suatu ideologi. Menggalang kaum tani agar peningkatan produksi yang dihasilkannya bisa mereka nikmati! Menggalang kaum nelayan yang harus bersaing dengan kapal penangkap ikan modern milik kaum kapital!
Bung Karno terus menggelorakan semangat. Menggalang kekuatan perempuan yang selalu dilecehkan. Menggalang pemuda agar mereka tak hirau pada masa depannya! Dan machtsvorming itu juga harus digunakan untuk mengganyang konglomerat hitam dan pejabat korup yang telah menjarah bertriliun-triliun harta negara!
Itulah yang dimaksud Bung Karno dengan macthsvorming, bukan sekadar machtsvorming untuk kampanye dan apel-apel yang seremonial sifatnya.
Megawati jelas beda dengan Bung Karno. Megawati berada di zaman ketika Indonesia beranjak jauh setelah merdeka. Bung Karno telah merintis jalan dan menalar ideologinya dalam praksis saat memimpin negeri ini pada zamannya.
Megawati berada pada zaman ketika pemegang kekuasaan dianggap sebagai 'Petugas partai", ketika presiden Indonesia bagian dari kelompoknya -- dus, benar selorohan bahwa Indonesia bagian dari PDI-P, bukan PDI-P bagian dari Indonesia.
Megawati berada pada zaman ketika harga BBM naik tanpa harus diumumkan ke publik, ketika rekening listrik membengkak karena (meminjam eufemisme kata zaman Orde baru) "menyesuikan harga". Megawati berada pada zaman ketika emak-emak antre minyak goreng lantaran satu di antara kebutuhan pokok itu hilang di pasaran.
Megawati berada pada zaman ketika ia kemudian menasihati "apa tidak ada cara merebus" saat minyak goreng raib di pasar-pasar rakyat. Seorang di antara rakyat pun taat dengan nasihat Sang God Mother, dan mencoba meracik bahan untuk bikin peyek lalu direbus: maka jadilah bubur. Segala jadi bubur, seperti Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi yang tangkat tangan tak berkutik. Ia tak tunduk pada mafia minyak goreng, memang. Tapi, teriakannya tak ada yang dengar. Teriakan agar ketersediaan barang kebutuhan rumah tangga itu normal jadi bahan ketawaan para mafia yang menguasai distribusi minyak goreng di Tanah Air.
Megawati berada pada zaman ketika Presiden Joko Widodo, si petugas partai, lebih mengajak beramah-hepi bersama Marc Marquez. Dalam parade MotoGP, diikuti 20 pembalap dari kelas MotoGP, Moto2, Moto3, hingga Asia Talent Cup. Megwati berada pada zaman ketika langka minyak goreng dan emak-emak antre di jalan karena minyak goreng sulit dicari, sementara penguasa negeri dan para pembalap sarapan bersama di Istana Merdeka. Presiden pun melepas rombongan parade, diikuti sekitar 80 peserta yang terdiri dari 20 pembalap dan 60 dari motor pabrikan yang ada di Indonesia.
Megawati berada pada zaman ketika hujan lebat di sirkuit Mandalika dan teater di tangan pawang hujan. Megawati bersama kita berada pada zaman ketika kita menyaksikan Marc Marquez jatuh di Mandalika ditolak Puskesmas karena tak miliki kartu BPJS. Kita diajak ketawa bersama tak lagi interes soal kebutuhan rakyat. Kita menyaksikan ketika kekuasaan pemerintahan berjalan seperti mesin yang bergerak sendiri.
Megawati tak berada pada zaman ketika Bung Karno penuh semangat memperjuangkan harga diri bangsa. Sang Proklamator penuh pada orientasi manusia Indonesia. Sedang Megawati menerobos keluar dari ideologi sebagai pusaran orientasi. Ia tak lagi bicara sosialisme versus kapitalisme. Megawati masuk pagar-pagar semu distribusi kapital: minyak goreng yang langka di pasaran. Ia tak bicara soal kapital yang menyengsarakan rakyat, yang kerap didengungkan Bung Karno -- kini sepi terdengar dalam ingatan kita.
Bung Karno dan Mengawati memang beda zaman dan saya pun hanya bisa berteriak: Kaum Marhaen, di mana senjakala suatu ideologi?