‘Katimun’ dan Seember Pasir Masjid, Lelucon Khas Fachry Ali
Karena berkesempatan bergaul dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), agaknya pengamat sosial-politik yang satu ini ketularan gaya humornya.
Maka, Fachry Ali, pakar yang pernah akrab di LP3ES itu, kerap mencatat hal-hal remeh tapi tetap mengundang pesona. Pesonanya, lantaran ia menghadirkan sisi manusiawi yang humoris, sekaligus lelucon di sekitarnya. Seperti ini:
Saya sering memanggilnya ‘Khatimun’. Bahkan terkadang saya tambahi dengan kata ‘ambiyak’.
Pekan lalu saya bilang kepadanya bahwa nanti akan ada yang bantu mendaftarkannya mendapat vaksinasi Covid-19. Sambil menghentikan aktivitas mengeringkan mobil yang tampak masih basah, ‘Katimun’ menoleh kepada saya.
Dia berkata: ‘Saya belum berumur 60 tahun.’
Tetapi, pagi 12 Maret 2021, saya baru tahu ‘rahasia’-nya mengapa ia belum berusia 60 tahun.
‘Di Kartu Tanda Penduduk (KTP), saya ditulis lahir pada 1962,’ katanya, sambil tersenyum.
‘Terus,’ tanya saya, ‘di luar KTP kamu lahir kapan?’
Sambil cengar-cengir dia jawab: ‘1958.’
Lalu dia tambahkan: ‘Enggak tahu tuh. Soalnya yang ngurusin KTP saya .....’ (Dia menyebut nama seseorang yang saya tak ingat).
Berasal dari Panaraga (baca: Ponorogo), Jatim, Katimun bergabung ke dalam keluarga kami sejak 1996 —sebagai supir keluarga. Dan, tampaknya ia bangga dengan daerah asal usulnya.
Dia memihak Persatuan Sepakbola Palembang dalam pertandingan final melawan Persib Bandung. Alasannya, karena Persib yg mengalahkan Persibaya di perempat final. Tapi, ada yang lebih seru.
Ketika saya ajak menyanyikan lagu ‘Lir Ilir’, Katimun mengatakan: ‘Saya orang Jawa Timur.’ Itu tandanya ia menolak.
‘Lir Ilir’, kita tahu, adalah gubahan Sunan Kalijaga (baca: Kalijogo), asal Jawa Tengah —ratusan tahun lalu. Dengan penolakannya, saya tafsirkan bahwa Katimun menyatakan bahwa ia berasal dari belahan wilayah ‘lain’. Bukan wilayah budaya Kalijaga.
Katimun adalah tokoh yang ikhlas. Tiap pekan terakhir dalam satu bulan, ia bertugas untuk ‘nanggok’. Yaitu, meminta amal jariah di pinggir jalan dengan menggunakan ‘jaring ikan’ untuk pembangunan masjid.
Sejak sebelum masa pandemi Covid-19, masjid di kampung kami, di Jakarta Timur, sedang dibangun. Panitia menjadikannya sebagai salah satu pencari dana —dengan jalan ‘nanggok’. Dan itu ada ‘honor’-nya.
Katimun menerima ‘honor’ itu dan memasukkannya kembali ke dalam ‘tanggok’. Maka, Katimun menyumbangkan tenaga sekaligus dana untuk pembangunan masjid itu.
Beberapa pekan lalu, ditekan hujan bertubi-tubi, ada bagian yang terlihat bocor di rumah kami. Maka, di bawah komando Supuno (supir pribadi saya sejak 2001), Katimun memeriksanya.
Setelah ‘diagnosa’ dilakukan, saya lihat Katimun keluar dan kembali dengan seember pasir.
‘Atap ada yg retak. Jadi perlu disemen,’ katanya. Untuk itulah ia perlu sedikit pasir.
Sambil menatap ember, saya bertanya: ‘Itu pasir dari mana?'
Sambil tersenyum, Katimun menjawab: ‘Dari masjid.’
‘Wah’’ seru saya. ‘Kebangetan kamu!’
Segera saya suruh dia membeli satu truk kecil pasir untuk menggantikan seember pasir masjid itu.
Esoknya, saya bertanya apa pasir ‘pengganti’ itu sudah sampai ke masjid.
‘Sudah,’ jawab Katimun. ‘Tapi, karena pasir untuk yang bocor di rumah masih kurang, jadi saya minta lagi satu ember.’
Saya menahan ketawa di depannya. Dalam hati saya berkata: ‘Pinter juga Katimun ini. Itu berarti dia meminta saya membelikan pasir untuk masjid satu truk kecil lagi.’