Kata “Ulama“ Disoal, Ini Penjelasan Memahami Istilah Ulama
Ada seorang penceramah yang memberikan penjelasan menyimpang, tapi ternyata viral di media sosial. Untuk itu, sejumlah kalangan minta KH Husein Muhammad untuk menulis tentang “Siapakah Ulama” itu?”
Berikut penjelasan KH Husein Muhammad untuk memahami istilah ulama:
Ulama, kata jamak dari kata tunggal “Aliim”. Secara literal berarti orang-orang yang berilmu. Kata ini disebut dalam Al-Quran : انما يخشى الله من عباده العلماء
Artinya: Sesungguhnya yang takut kepada Allah di kalangan hamba-hamba-Nya hanyalah ulama”. (Q.s.Fathir: 28).
Tetapi Al-Quran menyebut banyak kata lain yang semakna atau memiliki konotasi yang sama dengan ulama. Antara lain : “ulul ilmi” (yang punya ilmu), “ulul albab” (yang mempunyai hati/pengetahuan inti/substantif), “ulil abshar” (yang punya pengetahun), “Ulin Nuha” (yang mempunyai akal yang sehat) dan ahl al-dzikri” (yang selalu mengingat Tuhan).
Dari hadis Nabi kita menemukan kata itu dalam kalimat : “Al-ulama waratsatul anbiya”. (Ulama itu pewaris para Nabi).
Ada banyak predikat yang ditujukan kepada ulama. Antara lain : sirajul ummah (lampu umat), “manarul bilad” (menara/mercusuar negara), “qiwamul ummah”, (pilar ummat), “manabi’ul Hikam” (sumber kebijaksanaan), dan lain-lain.
Tanda-tanda Ulama
Bagaimana kita mengetahui bahwa seseorang bisa dianggap atau disebut ulama? Apa ciri-cirinya?
Habib Abdullah Al-Haddad, dalam kitabnya yang sangat terkenal dan dijadikan sumber pengetahuan etika di pesantren, Nashaihud Diniyyah, menyebut sejumlah tanda/indikator karakter ulama:
فمن علامات العالم : ان يكون خاشعا متواضعا خاءفا مشفقا من خشية الله زاهدا فى الدنيا قانعا باليسير منها منفقا الفاضل عن حاجته مما فى يده. ناصحاً لعباد الله. رحيما بهم أمرا بالمعروف ناهيا عن المنكر. مسارعا فى الخيرات ملا زما للعبادات . ووقار واسع الصدر لا متكبرا ولا طامعا فى الناس ولا حريصا على الدنيا ولا جامعا للمال ولا مانعا له عن حقه ولا فظا ولا غليظا ولا مماريا ولا مخاصما ولا قاسيا ولا ضيق الصدر ولا مخادعا ولا غاشا ولا مقدما للاغنياء على الفقراء ولا مترددا الى السلاطين”
Tanda/ciri orang alim (ulama) antara lain : pembawaannya tenang, rendah hati, selalu merasa takut kepada Allah, bersahaja, “nrimo”, suka sedekah, membimbing umat, menyayangi mereka, selalu mengajak kepada kebaikan dan menghindari keburukan/maksiat, bersegera dalam kebaikan, senang beribadah, lapang dada, lembut hati, tidak sombong, tidak berharap pada pemberian orang, tidak ambisi kemegahan dan jabatan, tidak suka menumpuk-numpuk harta, tidak keras hati, tidak kasar, tidak suka pamer, tidak memusuhi dan membenci orang, tidak picik, tidak menipu, tidak licik, tidak mendahulukan orang kaya daripada orang miskin, dan tidak sering-sering mengunjungi penjabat pemerintahan/penguasa”.
Sementara Imam al-Ghazali menyebut sifat-sifat/ciri-ciri ulama sebagai berikut :
واعلم ان اللائق بالعالم المتدين ان يكون مطعمه وملبسه ومسكنه وجميع ما يتعلق بمعاشه فى دنياه وسطا. لا يميل الى الترفه والتنعم .
“Ketahuilah, bahwa yang patut/pantas disebut ulama ialah orang yang makananannya, pakaiannya, tempat tinggalnya (rumah) dan hal- hal lain yang berkaitan dengan kehidupan duniawi, sederhana, tidak bermewah-mewahan dan tidak berlebihan dalam kenikmatan.
Lain lagi pendapat Maulana Jalaluddin Rumi, penyair sufi besar. Saat ditanya santrinya, “Siapakah yang disebut ulama?
Ia tak mendefinisikannya, tetapi memberikan contoh (perumpamaan) yang amat menarik tentang siapa orang alim (orang berilmu) itu. Katanya:
“Dia bagaikan pohon yang ditanam di tanah yang subur. Tanah itu menjadikan pohon tersebut berdiri kokoh dan kuat dengan daun-daun yang menghijau dan merimbun. Lalu ia mengeluarkan bunga dan menghasilkan buah yang lebat. Meski dialah yang menghasilkan bunga dan buah itu, tetapi ia sendiri tak mengambil buah itu. Buah itu untuk orang lain atau diambil mereka. Jika manusia bisa memahami bahasa pohon itu, maka dia sesungguhnya berkata :
علمنا الله ان نعطى ولا ان ناخذ
“Kami diajari untuk memberi dan tidak diajari untuk meminta”.
Advertisement