Kata Kuncinya: Kewibawaan Pemerintah dan Negara!
Oleh: Erros Djarot
Belakangan ini, kewibawaan pemerintah dan negara seperti dibiarkan terus menerus digerus oleh berbagai peristiwa politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Sadar atau tidak, masa depan dan eksistensi NKRI menjadi taruhannya. Lewat telaah ini, sering kali diasumsikan seakan ada sekelompok orang yang tergabung dalam barisan oposisi tengah giat melakukan perongrongan kewibawaan pemerintah dan negara.
Asumsi demikian itu terlalu umum dan tak perlu dipersoalkan. Karena memang begitulah kerja politik setiap kelompok oposisi di belahan bumi mana pun. Penangkalan terhadap kerja oposisi yang bersifat umum ini pun, sudah banyak juklak dan juknis penangkalnya yang dijadikan pegangan oleh setiap penguasa.
Sangat berbeda ketika perongrongan kewibawaan pemerintah dan negara justru dilakukan oleh orang-orang di sekitar lingkaran penguasa dan kekuasaan. Lebih pelik lagi ketika penguasa tertinggi dan sirkel satunya yang justru mengundang terjadinya perongrongan dimaksud. Tentunya terjadinya tidak direncanakan oleh sang penguasa. Hal ini bisa terjadi karena anatomi dan titik-titik kuat-lemahnya kekuasaan dan penguasaan, tidak sepenuhnya dipahami dan tidak berada dalam penguasaan penguasa.
Maka ketika kekuasaan menggeliat melakukan kerja dan meningkatkan kinerjanya (kuantitatif), kian hari semakin terasa terjadinya pelemahan dan perongrongan kewibawaan sebagaimana dimaksud. Seperti halnya sebagaimana kejadian penurunan imunitas tubuh manusia yang terjadinya bukan disebabkan oleh faktor luar, tapi justru oleh ulah diri sendiri yang kurang memahami bagaimana menjaga dan meningkatkan imunitas tubuh.
Kemungkinan lain, bisa juga disebabkan karena dirinya terlalu menyepelekan aspek ‘kesehatan’ yang berpotensi melemahkan daya tahan tubuh. Terjadinya hal ini bisa jadi disebabkan oleh faktor ignoran, faktor kurangnya pengetahuan, dan bisa juga disebabkan sikap sok tahu karena over PeDe. Atau, sang pemimpin sengaja dibutakan akan sejumlah bahaya yang mengancam; justru oleh para pembantu yang berada di sekelilingnya. Semata karena para pembantunya memiliki agenda sendiri yang jauh dari tujuan penyehatan dan upaya meningkatkan kesehatan daya tahan tubuh (kekuasaan-bangsa dan negara).
Begitulah kira-kira kondisi negara saat ini bila diumpamakan seolah kondisi tubuh manusia. Banyak penyakit yang belakangan timbul karena sekian banyak virus atau bakteri jahat yang entah mengapa sengaja dibiarkan hidup dalam tubuh. Pembiaran ini dilakukan hanya karena enggan berobat ke dokter ahli demi menjaga citra diri yang ingin selalu terlihat tampil sehat. Juga enggan disibukkan dan meributkan masalah sejumlah penyakit dengan harapan agar penyakit dapat diatasi sendiri. Alhasil yang terjadi justru sebaliknya. Penyakit mulai terasa kian meroyan dan mulai menggerogoti kesehatan tubuh secara perlahan tapi pasti.
Mulai dari catatan seputar penanganan masalah pandemik Covid-19 yang kian menunjukkan hasil memprihatinkan. Masalah kerukunan antar umat beragama yang belakangan penuh masalah. Garis perbedaan dibiarkan kian menebal yang disusul dengan semangat permusuhan hanya karena beda pilihan dan beda agama. Berakhir dengan semangat kaum ekstrimis dari kelompok mayoritas melibas para pemeluk agama minoritas.
Negara seakan terpenjara oleh kehendak politik yang mengatasnamakan kumpulan massa dari agama mayoritas. Hukum positif yang diberlakukan berdasarkan aturan main sebuah negara hukum, seakan tak berlaku lagi terhadap mereka. Aroma adanya negara dalam negara pun geliatnya kian nyata dan terasa sangat meresahkan.
Gerakan separatis kian marak dan menguat posisi politiknya. Teriakan Papua merdeka dan sejumlah gerakan politik pemisahan diri dari NKRI, kian santer dan nyaring diteriakkan oleh kaum separatis. Celakanya dibiarkan ramai diviralkan di berbagai channel media sosial. Tragisnya, malah sempat secara terbuka disuarakan oleh para mahasiswa yang tergabung dalam organisasi mahasiswa yang selama ini dikenal setia terhadap keberadaan NKRI.
Drama paling tragis dan memilukan hati bangsa ini adalah kasus tertangkap tangan para pelaku korupsi yang dilakukan oleh para pembantu Presiden.
Dan yang paling dramatik dan memalukan adalah uang negara dalam bentuk bantuan sosial untuk rakyat, dalam rangka negara memerangi Covid-19, dirampok oleh yang terhormat Bapak Menteri terkait dan kroni-kroninya. Rakyat pun mencatat, lha... ini yang terendus dan tertangkap. Konon masih ada lagi hal yang serupa dilakukan oleh sejumlah pejabat negara yang beraksi di wilayah kekuasaan berbeda. Ampuuuuun Gustiiii..!
Demikianlah catatan yang terekam tentang gerak penyehatan tubuh negara yang belakangan terasa kian tergerus oleh upaya meningkatkan ketahanan tubuh penguasa yang orientasinya hanya demi menyelamatkan keamanan kekuasaannya semata. Sehingga sering kali terjadi ketika dinyatakan kondisi daya tahan tubuh penguasa dan pemerintahannya menguat, kondisi kesehatan negara dan rakyatnya justru berada dalam kondisi yang kian melemah. Sekali lagi terbukti, bahwa politik pencitraan bukan solusi, tapi 100% masalah. Ditambah dengan catatan bahwa; ekonomi memang sangat penting, tapi bukan segala-galanya!
Sudah saatnya dan bersifat mendesak, diperlukan hadirnya metode penanganan berbagai masalah yang tepat dan benar. Tentunya yang juga dilaksanakan oleh ‘The right man in the right place’ (orang yang benar di tempat yang benar). Tidak lagi seperti sekarang; di tempat yang jelas-jelas memerlukan sentuhan seorang ahli untuk menyelesaikan masalah besar, ditempatkan pejabat yang tak paham masalah dan bahkan buta hati, pikiran, dan keahlian, kecuali menambah nilai-nilai liabilitas terhadap negara.
Penempatan orang-orang ‘under capacity’ pada posisi yang sangat terhormat dan strategis ini, dilakukan hanya semata untuk menyenangkan hati para mitra pemegang saham kekuasaan. Presiden memenuhi tuntutan pembagian jatah kekuasaan (posisi menteri dan jabatan strategis lainnya) kepada para pimpinan mitra koalisi partai pendukung, dilandasi dengan tujuan agar mereka tidak berisik dan mengganggu ketenangan kerja istana. Hasilnya, tragedi dan komedi berbaur mewarnai penampilan dan kualitas kerja mereka.
Sudah saatnya Pak Presiden lebih bersikap tegas mengawal kualitas kehidupan berkonstitusi secara baik dan benar sebagai upaya menjabarkan tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana telah digariskan dalam Pembukaan UUD-1945. Telah terbukti bahwa berbagai pembiaran yang dilakukan telah melahirkan berbagai ancaman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang berpotensi melenyapkan harapan dan amanat yang dititipkan oleh para bapak bangsa kita.
Rakyat menunggu kejelasan dan ketegasan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Tak ada satu manusia pun sebagai warga bangsa yang kebal hukum. Rakyat tidak ingin lagi menyaksikan dan merasakan hadirnya kekuatan yang dibangun oleh sekelompok massa yang mengatasnamakan agama atau apapun-- yang kehadirannya menciptakan suasana adanya negara dalam negara!
Kejelasan arahan dan tindakan tegas Presiden dalam mengemban amanat konstitusi dan amanat penderitaan rakyat, sangat dinantikan kehadirannya. Karena belakangan ini bangsa ini kian terombang-ambing dalam ketidakjelasan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara secara baik dan benar. Tentunya sebagaimana yang telah digariskan dan yang sesuai dengan arahan dan amanat UUD’45 dan Pancasila.
Bila hal yang bersifat mendesak ini tak juga terasa nyata dijalankan, dikhawatirkan suatu hari nanti NKRI bisa menjadi hanya sejarah masa lalu. Semoga hal ini tidak akan pernah terjadi. Kuncinya, kewibawaan pemerintah dan negara perlu ditegakkan kembali. Salah satunya dengan membangun pemerintahan yang nyata hadir sebagai sebuah pemerintahan yang nyata sebagai wujud Clean Government and Good governance!
Selama hal ini terwujudkan, rakyat akan berdiri tegak di belakangmu, Mr.President!
*Tulisan ini dikutip sutuhnya dan Watyutink.com
Advertisement