Kata-kata Kasar Bertebaran, Ini Keprihatinan Gus Sholah
Pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, KH Salahuddin Wahid mengkritik fenomena saling menjatuhkan di media sosial oleh para pendukung calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) 2019, permasalahan ini setiap hari semakin memprihatinkan.
Hal ini terkait maraknya terjadi di masyarakat sifat saling menyalahkan. Media masa penuh dengan kutipan ucapan dari capres dan cawapres atau tim kampanye yang menimbulkan kegaduhan. Seperti kata tampang Boyolali, politik gendruwo, politikus sontoloyo, tempe setipis ATM dan budeg. Dalam bahasa mudahnya, kampanye saat ini hanya ramai sensasi dan kering substansi.
"Sangat disayangkan, suasana Pilpres 2019 sudah dimulai ditanggapi dengan kata-kata kasar dan negatif, banyak yang menghujat, sehingga medsos semakin gaduh," ujarnya, dikutip ngopibareng.id, Senin 31 Desember 2018.
"Oleh karenanya, kalau kita melihat atau membaca kabar hoaks murahan tidak usah ikut menyebarkan. Selama ini bila ada orang yang ketahuan menyebarkan hoaks malah dibully dan dijelek-jelekkan terus," kata Gus Sholah.
Akibat perang kata-kata di antara pendukung capres, kata Gus Sholah, debat kusir terus terjadi, kedua kubu membela matian-matian jagoannya dan menyerang balik kubu lainnya.
Para pendukung capres, menurutnya, menafsirkan masing-masing ucapan capres sesuai dari posisi, bila pro pasti membela dan kalau kontra pasti menyalahkan, keduanya sama-sama kasar. Dan parahnya, hingga kini belum ada tanda-tanda masalah ini akan selesai, walaupun sudah berjalan bertahun tahun lamanya.
"Cara menghentikan kegaduhan ini, kita harus memaparkan dan menyebarluaskan argumen secara logis dengan dibarengi data-data yang akurat dan terpercaya serta sesuai dengan fakta," jelas adik dari Gus Dur, yang sebelumnya menerima kunjungan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj di Tebuireng Jombang.
Menurutnya, tindakan memaparkan argumen logis ini tidak langsung dapat menghentikan masalah ujaran kebencian ini. Karena orang yang sudah terpengaruh kebencian sangat sulit berpikir dari perspektif berbeda. Namun setidaknya memberikan alternatif berpikir dan solusi.
Dan terkadang orang yang diberikan fakta malah bertambah radikal. Mereka selalu menganggap kebenaran di sisinya dan selalu mencari lubang kesalahan di sisi lawan. Biasanya mereka menunggu pihak lawan mengeluarkan ucapan kontra, atau terpeleset lidah. Dan setelah itu menyebarkan masalah ini lebih masif.
"Oleh karenanya, kalau kita melihat atau membaca kabar hoaks murahan tidak usah ikut menyebarkan. Selama ini bila ada orang yang ketahuan menyebarkan hoaks malah dibully dan dijelek-jelekkan terus. Kata-kata kasar seperti dasar goblok, rasain loe, mampus loe, terus disebarkan. Yang menyebarkan tersebut merasa bangga, puas dan menang. Padahal Ini hanya membuat jurang kebencian kepada sesama manusia semakin lebar," ungkapnya.
Masalah ini, menurut Gus Sholah bila tidak segera diatasi malah membuat bangsa Indonesia terkotak-kotak. Cara mengatasi masalah ini selain memaparkan argumen logis juga diawali dengan tidak terpancing menghakimi dengan perkataan kotor juga. Perkataan kotor dibalas kotor maka membuat semakin kotor.
"Kalau mau mengklarifikasi kabar hoaks atau pesan negatif di media sosial jangan tergesa-gesa tapi tenang kan hati dan pikiran dulu. Lalu baru mengklarifikasi kabar tersebut dengan bahasa positif tidak menghina, merendahkan, menghargai pendapat orang lain dan tidak menprovokasi. Karena hal tersebut akan menghasilkan aura positif, ini sikap orang bijaksana," tandas cucu KH Hasyim Asy'ari ini. (adi)