Kasus Siswa Bunuh Diri karena PJJ, FSGI Sayangkan Pemerintah Diam
Dalam masa pembelajaran jarak jauh (PJJ) fase kedua ini, sudah ada tiga korban yang meninggal. Namun sayangnya, belum ada upaya menanggulangi kasus tersebut terulang kembali dari pihak terkait.
Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti mengaku kecewa atas kurangnya perhatian dari empat kementerian yang menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Dia memahami bahwa kasus bunuh diri tentunya bukan hanya PJJ saja, akan tetapi ada faktor lain, baik eksternal dan internal. Hal tersebut yang harus disentuh oleh kementerian atau lembaga tersebut.
“Kami sadar motif bunuh diri tidak pernah tunggal, ketika Dinas Pendidikan, Kemendikbud, Kemenag yang kemudian tidak mempelajari atau memeriksa sekolah seperti apa, tugas yang diberikan seperti apa, itu nggak diperiksa,” terang dia dalam siaran YouTube FSGI Pusat, Senin 2 November.
Kata dia, mereka hanya menanyakan soal luarnya saja, lancar atau tidak pelaksanaan PJJ kepada pihak sekolah. Tentunya, untuk menjaga nama baik sekolah, mereka akan mengatakan lancar saja, meskipun ada kendala.
Hal ini lah yang membuat adanya permasalahan dalam pelaksanaan PJJ, yakni tidak ada evaluasi dari seluruh stakeholder. Mulai dari anak didik, guru, hingga orang tua. “Denger aja omongan guru tanpa bertaya ke anak. Anak-anak lain itu harus jadi perbandingan, ini kan ngga pernah selesai karena sibuk menyangkal,” jelasnya.
Seperti yang terjadi pada kasus siswi bunuh diri di Gowa, Sulawesi Selatan yang Kepala Dinas Pendidikan setempat langsung menyimpulkan bahwa itu adalah masalah asmara. Padahal, anak tersebut sebelumnya mengeluh akan tugas yang menumpuk dan jaringan internet yang terbatas.
“Seakan-akan PJJ nggak ada (masalah), anak kan ngga mungkin punya beban yang lain, anak itu bebannya seputar belajar, jadi ini sesuatu yang diabaikan. Ketika kasus (bunuh diri) kedua (siswa di Tarakan), terjadi kesibukan menyangkal adalah (siswa) ini MTs bukan SMP, mengatakan anak itu yang berkarakter lemah, main game sehingga tidak mengerjakan tugas, sibuk menyangkal, itu yang kami sayangkan,” tandas Retno seperti dikutip dari jawapos.com
Advertisement