Kasus Santri Meninggal di Blitar, Ini Pesan Sapuan ke Orang Tua
Santri MAR, usia 14 tahun, meninggal dunia di Pondok Pesantren (Ponpes) Tahsinul Akhlaq di Kelurahan Kalipang, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Ia korban penganiayaan 17 orang, rata-rata usianya masih di bawah umur.
Menanggapi kasus ini, Ketua Lembaga Sapuan atau Sahabat Perempuan dan Anak Blitar, Titim Fatmawati memberikan pesan agar tidak terjadi tindakan kekerasan di lingkungan pondok pesantren (ponpes).
“Salah satunya yang paling penting adanya edukasi di lingkungan ponpes tentang anti bullying. Sebab, tindakan kekerasan terjadi karena ketidaktahuan anak-anak, tentang sanksi hukum apalagi di ponpes interaksinya 24 jam," jelasnya, saat ditemui Ngopibareng.id di rumahnya, Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar, Rabu 10 Januari 2024.
Titim menegaskan, pengetahuan anti bullying tidak hanya diberikan kepada para santri, tetapi seluruh unsur yang ada di lingkungan ponpes. Mulai dari ustaz, pendamping ponpes, pengurusnya bahkan sampai pemilik ponpes.
"Di ponpes interaksinya 24 jam. Anak dengan interaksi yang lama bisa memicu hal negatif (terjadinya pengeroyokan antar santri)," jelasnya.
"Mereka tidak bisa memfilter perilakunya dan mayoritas apa yang mereka lakukan proses imitasi (meniru)," tambah Titim.
Menurut Titim sulit untuk menyalahkan pihak mana yang patut bertanggung jawab. Sebab, masalah ini juga bisa dipicu oleh lingkungan keluarga. Ia pun menyerukan, sebelum melakukan pendidikan anak ke pondok pesantren lebih baik memperkuat keluarganya dahulu.
“Kembalikan edukasi terhadap anak santri ini kepada keluarga. Pihak keluarga harus kuat dulu. Seperti apa nilai-nilai edukasi dari orang tuanya,“ jelas dia.
"Kadang kita lupa saat menitipkan anak ke pesantren dengan harapan anak kita bisa menjadi lebih baik dalam ilmu agama, adab, tapi kita lupa adab itu dipelajari di lingkungan mana? Rumah, itu yang penting!” tandas Titim.
Menurut Titim untuk meminimalisir perilaku santri melakukan kekerasan di lingkungan pesantren, keluarga yang mutlak membentuk karakter anak. “Edukasi dalam keluarga mutlak!,” serunya.
Titim juga menyinggung soal pengaruh negatif gadget. “Saat ini era gadget berpengaruh terhadap perilaku anak tetapi lagi pengaruh keluarga di dalam memonitor dan mendampingi ketika anak-anak melihat tontonan dalam bentuk apa pun," jelasnya.
"Kalau anak dimasukkan ke ponpes lebih bagus kalau menjadi keputusan bersama. Anak juga harus dilibatkan dalam mengambil keputusan," jelas Titim lagi.
Di sisi lain, setelah jatuh korban MAR, sebanyak 17 santri tersangka pengeroyokan rata-rata masih di bawah umur. Mereka dikategorikan anak berhadapan dengan hukum (ABH).
"Dalam undang-undang perlindungan anak, mereka harus mendapatkan haknya dalam sistem peradilan anak. Mereka melakukan seperti itu tidak terlepas dari lingkungannya, sehingga harus mendapatkan haknya berpendapat, hak untuk mendapatkan pendidikan," tutur Titim.