Kasus Kepala Sekolah Cabul, Makan Korban Anak Terbanyak
Aksi kekerasan dan pencabulan yang dilakukan oleh oknum kepala sekolah salah satu sekolah menengah pertama (SMP) swasta, AS, 40 tahun, di Kota Surabaya, mendapatkan kecaman oleh lembaga pemerhati dan perlindungan anak, Surabaya Children Crisis Center (SCCC).
Ketua SCCC, Edward Dewaruci mengatakan, kejadian ini menjadi keprihatinan pihaknya. Ia bersama jajarannya pun melakukan pendampingan penuh terhadap enam orang anak yang menjadi korban AS.
"Kejadian ini adalah keprihatinan bagi kami. Ternyata fenomena gunung es terhadap kasus kekerasan terhadap anak masih terus berlangsung dan terjadi," kata Edward saat ditemui di Mapolda Jatim, Surabaya, Jumat 5 Juli 2019.
Edward mengatakan, perilaku AS tersebut makin memprihatinkan wajah lembaga pendidikan. Sebab hal itu justru terjadi di sekolah, tempat di mana anak-anak seharusnya mendapatkan jaminan keselamatan, perlindungan, dan terpenuhinya seluruh hak-haknya.
Kasus yang terjadi kini, berdasarkan catatan SCCC kata Edward, adalah kasus yang terbesar di sepanjang 2019. Di mana jumlah korbannya lebih dari lima orang anak.
"Kalau untuk tahun 2019, pelaku ini dengan jumlah korban yang cukup banyak, lebih dari 5 itu," ujar dia.
Saat ini, pihaknya pun tengah memberikan pendampingan terhadap enam orang anak yang menjadi korban AS. Pendampingan tersebut di antaranya yakni pemulihan psikologi dan penanganan traumatik.
"Kalau di Pemkot Surabaya sistem perlindungan anaknya masih berjalan. Ada tim pemulihan, kalau di Polda ada PPT untuk pemulihan. Ini harus menjadi perhatian, karena luka anak-anak bisa terbawa," kata Edward.
Ia pun mengapresiasi langkah Unit Renakta Subdit IV Ditreskrimum Polda Jatim, yang dinilainya berhasil menangani kasus kekerasan dan pencabulan di lingkungan sekolah, yang mulai terbongkar sejak awal April 2019, lalu.
Edward juga menambahkan butuh keberanian bagi para korban untuk melaporkan hal itu ke kepolisian. Begitu pula para penyidik yang berhasil menggali fakta dan bukti sehingga bisa menjerat AS sebagai tersangka.
"Wilayah yang orang tua merasa sangat percaya dengan dunia pendidikan. Ini keprihatinan. Dan kami mengapresiasi pihak polda yang telah berusaha mengungkap kasus ini. Karena kasus kekerasan terhadap anak itu kasus yang sulit, mengumpulkan keberanian pada korban untuk memberikan laporan itu proses yang butuh keahlian khusus," kata Edward.
Penindakan ini, kata Edward adalah bagian dari upaya bersama antara masyarakat dan aparat berwenang untuk menciptakan lingkungan yang ramah terhadap anak.
"Ini upaya bersama aparat dan masyarakat harus mau menciptakan lingkungan yang ramah dan aman untuk anak-anak kita. Upaya ini mudah-mudahan bisa," kata dia.
Sebelumnya, seorang kepala sekolah SMP swasta di Kota Surabaya, berinisial AS, ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak kekerasan dan pencabulan terhadap enam orang anak didiknya yang di bawah umur.
Kasubdit IV Renakta, AKBP Festo Ari Permana, mengatakan, pada tanggal 8 April 2019 lalu, pelapor dan wali murid lainnya melaporkan kejadian tersebut ke Polda Jatim. Lebih lanjut, kata Festo, dari hasil pemeriksaan polisi, modus operandi pencabulan yang dilakukan AS adalah dengan meremas kemaluan korbannya. Sementara dalam tindak kekerasannya, tersangka memukul korbannya dengan pipa paralon.
"Modus operandinya, tersangka memukul punggung korban dengan pipa paralon. Memegang dan meremas kemaluan korban saat korban sedang berwudhu dan berdzikir. Dilakukan di sekolah, kelas, tempat wudhu, mushola," katanya.
Akibat perbuatannya, tersangka pun terancam jeratan pasal 80 dan atau pasal 82 UU RI Nomor 17 tahun 2016 tentang Perubahan UU RI Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara.