Kasus Pak Eko Membesar Diteliti TGPF
Oleh: Djono W. Oesman
Kasus Pak Eko akhirnya ditanggapi Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Memerintahkan Polda Metro Jaya mengusut tuntas. Kapolda Metro Jaya, Irjen Fadil Imran segera membentuk TGPF.
------------
TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) muncul terlalu sering, dalam waktu dekat. Mulai kasus Sambo, disusul Tragedi Kanjuruhan, kini kasus kecelakaan lalu lintas (laka lantas).
Dari yang serius sampai ringan. Tapi, semuanya menimbulkan korban tewas. Yang tak boleh dianggap sepele.
Kapolda Metro Jaya, Irjen Fadil Imran kepada pers, Senin, 30 Januari 2023 mengatakan:
"Atas perintah dan arahan Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, sebagai Kapolda saya akan mengambil langkah. Pertama akan membentuk tim untuk melakukan langkah-langkah pencarian fakta."
Ini sebenarnya kasus laka lantas biasa. Cuma menghebohkan. Viral. Setelah viral, banyak pihak nimbrung. Berkomentar. Bukan komen sosmed. Melainkan para politisi bicara ke pers.
Viral di sosmed, ditanggapi para tokoh. Digoreng di sosmed lagi. Terjadi arus informasi bolak-balik. Sehingga menggelembung. Jadi efek bola salju yang menggelinding. Walaupun sangat banyak kasus semacam ini. Mirip ini. Tapi tidak viral, lalu dilupakan orang. Mati sendiri.
6 Oktober 2022 malam, di Jalan Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Berjarak sekitar 500 meter dari Kampus Universitas Indonesia (UI). Situasi hujan gerimis. Jalanan becek.
Mahasiswa UI, Muhammad Hasya Attalah Syaputra, 18 tahun, keluar dari kampus UI. Naik motor sendirian dari selatan ke utara.
Mantan polisi Pak Eko (AKBP Purn Eko Setia Budi Wahono) bermobil Pajero datang dari arah sebaliknya. Mereka bertabrakan. Tubuh Hasyah jatuh ke kanan, ditabrak, dilindas Pajero Eko.
Warga mengangkut tubuh Hasya ke pinggir jalan. Mobil Eko berhenti. Lalu teman-teman Hasya sesama mahasiswa UI pemotor lewat situ juga, berhenti, menjenguk Hasya. Katanya, saat itu Hasya masih hidup. Mengerang kesakitan.
Para mahasiswa UI meminta Eko mengangkut Hasya ke rumah sakit. Butuh cepat. Soal nyawa.
Tapi, kata ayah Hasya, Adi Syahputra, yang mendapat laporan dari teman-teman Hasya, mengatakan, Eko menolak mengangkut tubuh Hasya. "Tubuh anak saya dibiarkan saja di pinggir jalan. Tapi pelaku tidak lari, tetap di situ katanya."
Sekitar setengah jam kemudian, atas usaha teman-teman Hasya, dapat kendaraan mengangkut Hasya ke rumah sakit. Setelah tiba di RS, diperiksa dokter, Hasya dinyatakan meninggal. Death on arrival.
Ketika Hasya di rumah sakit. Eko juga ada di sana. Menunggui. Tidak lari. Sampai ia ketemu ayah Hasya, Adi Syahputra di rumah sakit.
Perkara ini diusut polisi. Proses lama. Karena tak ada saksi mata. Waktu itu di TKP hujan gerimis terus-menerus. Polisi mendamaikan keluarga korban dengan pelaku. Tapi tidak bisa damai.
Eko sempat dikenakan wajib lapor ke Polda Metro setiap Kamis. Gelar perkara sampai tiga kali. Sampai kemudian tahun berganti.
Jumat, 27 Januari 2023 (hampir empat bulan kemudian) Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Kombes Latif Usman mengatakan, korban lalai, sehingga tewas tertabrak mobil Mitsubishi Pajero milik pensiunan Polri, Eko Setia Budi Wahono.
"Menetapkan, Muhammad Hasya Attalah Syaputra sebagai tersangka," katanya. Saat itu juga diterbitkan SP3. Atau perkara dihentikan.
Orang ditabrak mati, malah ditersangkakan. Ini mengusik rasa keadilan publik.
Kecurigaan kuat, karena Eko mantan polisi. Kapolsek Cilincing, Jakarta Utara pada 2021. Lalu, dimutasi jadi Wakil Kepala Satuan Binmas, Polres Jakarta Barat berpangkat AKBP. Setelah itu pensiun.
Sampai di sini menimbulkan persepsi macam-macam. Dikomentari para tokoh beraneka ragam. Semua menyalahkan polisi. Dari hari ke hari, muncul komentar dari Anggota Komisi III DPR RI, yang antara lain, membidangi Kamtibmas. Selalu ada yang baru.
Anggota Komisi III DPR Fraksi Demokrat, Didik Mukrianto, kepada pers, Minggu, 29 Januari 2023 mengatakan:
"Hukum tidak boleh berjarak dengan rasa keadilan. Penegakan hukum yang berjarak dengan rasa keadilan, maka akan mengoyak rasa keadilan publik. Itulah paling tidak pandangan sebagian masyarakat terkait dengan penetapan tersangka Mahasiswa UI, Muhammad Hasya yang tewas ditabrak mantan polisi inisial ESBW."
Paling keras, Anggota Komisi III DPR Fraksi PPP, Arsul Sani kepada pers, Minggu, mengatakan:
"Sebagai anggota Komisi III yang membidangi hukum, HAM dan Keamanan, saya berpendapat bahwa Polda Metro Jaya menetapkan tersangka Almarhum Hasya tidak sesuai dengan KUHAP, juga tidak sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi RI."
Berdasar aturan itu, penetapan tersangka harus dikukuhkan minimal dua alat bukti hukum yang kuat. Arsul yakin, Polda Metro Jaya tak punya syarat itu. "Korban sudah tewas, lalu ditersangkakan."
Terbaru, Anggota DPR Fraksi PKB, Mohammad Rano Alfath kepada pers, Senin, 30 Januari mengatakan:
"Saya membayangkan sedihnya ibu harus mengubur anaknya sendiri. Maka, saya meminta Polri usut tuntas dan cari fakta yang sebenar-benarnya agar keadilan dapat ditegakkan."
Terbaru dan terkeras, Anggota Komisi III DPR, Santoso kepada pers, Senin, menyebut kasus itu: Menjadikan seseorang tidak bersalah sebagai tersangka. Katanya begini:
"Korban tewas sebagai tersangka bisa saja diterapkan dalam rangka menyelamatkan pihak penabrak dari tindak pidana yang menyebabkan tewasnya seseorang. Korban tewas dan dijadikan tersangka diyakini sebagai tindakan outrakstion of justice (menjadikan orang tak bersalah jadi tersangka)."
Yang berarti, Santoso sudah menyimpulkan, korban Hasya tidak bersalah.
Dilanjut: "Outrakstion of justice saat ini telah masuk dalam KUHP sebagai upaya pencegahan kepada penegak hukum untuk tidak mempersangkaan orang yang tidak bersalah. Atau bukan pelaku menjadi pelaku atau tersangka."
Tapi, paling ditunggu pernyataan Menko Polhukam, Prof Mahfud MD. Baik di kasus Sambo maupun tragedi Kanjuruhan, Prof Mahfud aktif memberi pengarahan penanganan hukum.
Prof Mahfud kepada pers, Senin, mengatakan singkat: "Kan sudah jelas. Tinggal masyarakat bagaimana mencerna penjelasan polisi itu. Saya tidak perlu mengulangi penjelasannya lagi."
Ini kasus hukum sederhana, tapi pelik. Juga rawan, menyangkut kinerja Polri. Butuh kebijaksanaan pengambil keputusan. Agar menghasilkan rasa keadilan masyarakat.
Sebaliknya, jika masyarakat menyalahkan kinerja polisi terus-menerus, juga bahaya. Karena, pastinya masyarakat butuh polisi berjuang menegakkan kamtibmas.
Penegakan hukum (law enforcement) dengan penegakan kamtibmas (community safety enforcement) dua hal beda, dan keduanya diemban Polri. Harus imbang. Di situ sulitnya. (*)
Advertisement