Kasus Neno, Mengapa BIN Harus Mengaku?
Harian New York Times Edisi 12 Juni 1987 memuat sebuah artikel menarik tentang kekonyolan lembaga intelijen AS CIA (Central Intelligence Agency). Suatu hari Stephen J Solarz seorang senator partai Demokrat yang duduk di komite luar negeri, melakukan perjalanan ke Honduras, Amerika Tengah. Dia mendapat tugas mencari fakta (fact finding) ke pangkalan para pemberontak Nikaragua yang dikenal sebagai kelompok Contra.
Honduras secara rahasia menjadi pangkalan CIA untuk melatih pemberontak Contra untuk memerangi rezim komunis Sandinista yang dipimpin Presiden Daniel Ortega.
Di kamp itu seorang agen CIA memperkenalkan Solarz dengan seorang perwira pemberontak. Pria itu menggunakan sebuah topi baseball dengan sebuah logo yang sangat terkenal. Pada bagian samping logo itu tertulis sebuah kredo “Admit Nothing-Deny Everything-Make Counter-Accusations.
Solarz bertanya darimana dia mendapat topi tersebut? “Saya membelinya di toko khusus di Langley,” jawab si perwira dengan kalem. Langley adalah markas besar CIA yang terletak di Fairfax County, Virginia, tidak jauh dari pusat pemerintahan AS Washington.
Bisa dibayangkan betapa kagetnya Solarz mendapati seorang komandan pasukan rahasia, namun secara terbuka justru memamerkan identitasnya. Di Indonesia agen rahasia model ini sering disebut sebagai “intel melayu.”
“Jangan buat pengakuan apapun, bantah semuanya, dan buat serangan balik dengan berbagai tuduhan,” adalah kredo yang sangat dijunjung tinggi oleh seorang agen intelijen. Kerahasiaan adalah sesuatu yang sangat sakral. Keberhasilan operasi intelijen terletak pada kerahasiaannya itu.
Karena itu agak mengherankan ketika Juru Bicara Badan Intelijen Nasional (BIN) Wawan Hari Purwanto mengakui bahwa benar Kepala BIN Daerah (KABINDA) Riau ikut terlibat dalam proses pemulangan paksa Neno Warisman dari Bandara Pekan Baru, akhir pekan lalu. Wawan juga minta minta maaf bila ada kesalahan dalam penanganan pembubaran aksi deklarasi Gerakan #2019GantiPresiden di Riau yang sedianya dilakukan Ahad (27/8).
Bila kita menggunakan cara berpikir yang positif, pengakuan Wawan merupakan upaya untuk menunjukkan sebagai lembaga intelijen, BIN sedang bertransformasi menjadi lebih “baik.” Lembaga intelijen negara yang menerapkan prinsip “transparansi.” Jadi tidak perlu ada yang ditutup-tutupi. Apalagi seperti dikatakan Wawan, kehadiran KABINDA Riau untuk mencegah adanya bentrokan antara masa pendukung dan penentang Neno.
Implikasi serius
Dalam dunia intelijen terbukanya jati diri seorang agen, implikasinya sangat serius. Berbagai operasi intelijen yang dirancang secara matang, terpaksa dibatalkan. Keselamatan sang agen juga bisa terancam. Dalam hubungan antar negara juga bisa menimbulkan krisis diplomatik yang sangat serius.
Bila kita menonton sequel Film Mission Impossible, biasanya seusai mendengarkan penugasan, agen Ethan Hunt selalu diingatkan, bila dia tertangkap, agensi tidak akan mengakui. Dengan kata lain risiko ditanggung sendiri. Di kalangan intelijen Indonesia dikenal kredo “Berani dan siap tidak dikenal, mati tidak dicari, sukses tidak dipuji. Jika sampai gagal dimaki-maki.”
Saking pentingnya menjaga kerahasiaan, di negara-negara komunis seperti Korea Utara dalam beberapa peristiwa, seorang agen rahasia yang tertangkap menelan pil sianida yang selalu mereka bawa.
Di AS membuka jati diri seorang agen rahasia, hukumannya sangat berat. Karl Rowe wakil kepala staf Presiden AS pada masa pemerintahan George W Bush Jr pernah diselidiki dan dibawa ke pengadilan karena diduga membocorkan jati diri seorang agen CIA ke sejumlah media.
Agen tersebut bernama Valerie Plame, istri Joseph Wilson seorang mantan Duta Besar. Wilson dikenal sangat kritis kepada Bush dan berencana membuka fakta bahwa pemerintah AS berbohong tentang pembelian uranium rezim Saddam Hussein dari Nigeria.
Implikasi dari ancaman Wilson sangat serius. Pada saat itu Bush sedang merencanakan penggulingan Presiden Irak Saddam Husein dengan tudingan memiliki senjata pemusnah massal. Belakangan tudingan itu tidak terbukti. Kasus itu oleh media AS disebut sebagai “Plame Affairs.”Pengadilan AS juga menyeret Wakil Menteri Luar Negeri Richard Armitage, dan Kepala Staf Wakil Presiden Lewis Libby.
Armitage dan Rowe akhirnya dibebaskan karena mengaku saat itu hanya berkelakar dan kebetulan didengar sejumlah wartawan. Sementara Libby dihukum 30 bulan penjara dan denda USD 250 ribu karena dinilai menghalangi pengadilan dan bersumpah palsu.
Pengakuan bahwa BIN secara kelembagaan terlibat dalam “pengamanan” Neno Warisman dan KABINDA Riau terlibat langsung seperti terekam dalam video yang tersebar ke publik, implikasinya juga tak kalah serius. Selain identitasnya terungkap, bisa muncul kecurigaan BIN ikut bermain dalam ranah politik praktis mendukung rezim penguasa. Bila hal itu terjadi di AS bisa memunculkan krisis politik yang sangat serius, dan pemerintahan jatuh.
Sebagaimana disampaikan Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, mereka menyambut baik kedatangan Neno di Bumi Melayu Pekanbaru. Sementara para penghadang diketahui bukan orang Melayu. Mereka adalah etnis tertentu yang dikerahkan oleh kekuatan dan kelompok tertentu. Jadi ada upaya membenturkan pendukung dan penentang gerakan #2019GantiPresiden. Sebuah dugaan yang tidak main-main. Nah soal ini tampaknya perlu penjelasan lebih lanjut dari juru bicara BIN. Sudah kepalang transparan, semuanya harus dibuat lebih transparan lagi. End
*) Oleh Hersubeno Arief, wartawan senior yang kini menjadi konsultan media dan politik - Dikutip sepenuhnya dari laman hersubenoarief.com
Advertisement