Menolak Pembongkaran Masjid Assakinah Tak Ada Hubungannya dengan Agenda Politik
Makin banyak elemen masyarakat yang menolak pembongkaran masjid Assakinah di komplek Balai Pemuda. Penolakan ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan agenda politik. Justru yang berinisiatif membongkar masjid itulah yang boleh jadi memiliki agenda politik.
"Ini jangan dinilai bahwa ada nilai politis, kami tidak peduli pejabat itu dari partai mana, kita murni apa yang kita lakukan ini, apa yang kita perjuangkan ini semoga menjadi amal ibadah. Saya khwatirnya bahwa apa yang kami lakukan ini malah akan diplintir menjadi memecah belah ummat dan masyarakat," ujar Saiful salah seorang seniman senior saat ditemui, Jumat, 24 November 2017.
Hal senada juga dikatakan oleh Wawan Hendrianto dari Komunitas Bambu Runcing Surabaya. Menurutnya, apa yang dilakukannya bersama dengan kawan aktivis lainnya, adalah upaya mempertahankan cagar budaya yang mempunyai nilai sejarah warisan para pejuang pada era memperebutkan kemerdekaan Indonesia di masa silam.
Ia pun membantah bila kepedulian terhadap Masjid Assakinah ini dikaitkan dengan gerakan 212 yang ada di Jakarta. Yang mereka lakukan adalah bentuk protes ditujukan pada Wali Kota Surbaya, Tri Rismaharini dan Ketua DPRD Surabaya, Armuji, bukan menyerang kelompok tertentu.
Wawan dengan tegas menolak bila kasus ini dikaitkan dengan isu SARA. Menurutnya apa yang dilakukannya adalah perjuangan mempertahankan Cagar Budaya Balai Pemuda sebagai ruang publik, bukan untuk kepentingan anggota dewan semata.
"Balai Pemuda harus dipertahankan sebagai ruang publik, sebagai ruang anak-anak muda di mana para pemuda membangun jati diri, mengeksplorasi potensi dirinya, membangun karakteristik dirinya," kata dia.
Sebelumnya, Wawan dan sejumlah aktifis lain resmi melaporkan Risma dan Armuji ke Polda Jatim, Senin 20 November 2017, lalu. Laporan itu juga dinilai oleh beberapa pihak sebagai upaya membawa isu SARA yang terjadi di Jakarta ke Surabaya.
KBRS didampingi lima pengacara, Ida Bagus Adis Harymbawa, Okky FS, Heroe Maksono, Abdus Salim, dan Mudji Utomo yang tergabung dalam OS&Partners melapor ke Gedung SPKT Polda Jatim.
Saat melapor, petugas SPKT menyarankan KBRS beserta kuasa hukumnya untuk berkoordinasi dengan Ditreskrimsus Polda Jatim lebih dulu. Dari analisa Ditreskrimsus, kasus pembongkaran masjid itu akhirnya dinyatakan telah memenuhi unsur Pasal 156a KUHP terkait penistaan terhadap agama.
"Saya mewakili KBRS yang bertandatangan, melaporkan dua petinggi pemerintah Kota Surabaya, atas tindak pidana penistaan agama, bukan kami yang ngomong tapi itu menurut KUHP Pasal 156 a, Karena ini masalah sensitif maka disarankan langsung ke kapolda. Dan kapolda mengatakan itu memenuhi unsur, namun isu ini memang sensitif, laporan KBRS itu hari ini dilihat secara
nasional, bahwa, lho kita ini oleh beberapa pihak dibully, dianggap alumni 212 macam-macam lah, kenyataanya kami tak terkait samasekali dengan hal itu," tandasnya. (frd)