Kasus KDRT Bisa Diselesaikan di Rumah ‘Restorative Justice’
Tomy Angga Kusuma, yang didampingi ibunya tampak menangis sesenggukan. Sebab ia dibebaskan dari jerat hukum pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan terhadap istrinya, Serlina.
“Terima kasih kepada Bapak Kajari dan semua pihak sehingga saya dibebaskan hari ini. Terutama ibu saya. Mohon maaf Ibu, karena menyusahkan Ibu akibat perbuatan saya ini. Saya berjanji tidak akan mengulanginya,” ujarnya terbata-bata sambil menangis.
Lutut Tomy kemudian menunduk, kedua lututnya bertumpu di lantai untuk sungkem (meminta maaf) kepada ibunya. Tidak lupa Tomy pun sempat menjabat tangan mantan istrinya, Serlina.
Selanjutnya prosesi pelepasan rompi tahanan kejaksaan serta foto bersama sebagai bukti penyelesaian kasus ini. Suasana haru tersebut mewarnai Rumah Restorative Justice (RJ) di Kecamatan Kanigaran, Kota Probolinggo.
Sebab perkara tindak pidana KDRT yang menjerat Tomy bisa diselesaikan di luar persidangan. Prosesi penghentian tuntutan perkara tersebut dilaksanakan Rabu, 10 Agustus 2022.
Tomy berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya kembali, sedangkan Serlina sudah memaafkan perbuatannya. Tomy yang didampingi ibunya menangis haru karena sudah dibebaskan dan dihentikan proses tuntutannya.
Dipimpin langsung Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kota Probolinggo Hartono, didampingi Kasi Pidana Umum Dymas Aji Wibowo dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Meta Yulia Kusumawati. Hadir pula Camat Kanigaran Agus Rianto, Lurah Sumbertaman, perwakilan dari Koramil, polresta, Ketua RT 02 , Ketua RW 08, serta kedua belah pihak yang berperkara.
Kajari Hartono mengatakan, sebelumnya telah dilakukan proses mediasi antara tersangka Tomy dengan korban, Serlina, mantan istrinya. Dengan disaksikan tokoh masyarakat setempat dan penyidik mereka berdamai dengan syarat.
“Proses penyelesaian di Rumah Restorative Justice ini tidak dikenai biaya apapun alias gratis. Dari tiga perkara yang kami ajukan kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), hanya satu yang disetujui yaitu perkara KDRT ini,” katanya.
Untuk memperoleh proses penghentian penuntutan harus memenuhi beberapa persyaratan. Di antaranya termasuk perkara ringan, yang ancaman pidana tidak lebih dari lima tahun.
Syarat lain, kata kajari, pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana tersebut dan kerugian negara tidak lebih dari Rp2,5 juta. Selain itu, harus ada kesepakatan damai yang disetujui oleh kedua belah pihak tanpa ada paksaan.
“Saya berharap Rumah Restorative Justice tidak hanya di Kecamatan Kanigaran saja, tapi juga bisa dibentuk di kecamatan lainnya,” kata Hartono.
Sebab keberadaan RJ ini bisa dimanfaatkan untuk menyelesaikan perkara ringan tanpa harus melalui persidangan atau hukuman di balik jeruji besi. “Karena bisa diselesaikan secara damai, “ ujarnya.
Advertisement