Kasus Holywings, Kebebasan Berekspresi Jangan Dibenturkan Agama
Kasus Holywings yang membuat promosi minuman beralkohol gratis mencatut nama Muhammad dan Maria, harus jadi pelajaran berharga. Jangan sampai terulang. Pelecehan agama dengan cara apu pun harus dihindari. Supaya masyarakat tidak gaduh dan kerukunan antar umat beragama tetap terjaga.
Ketua Umum DPP Chriswanto Santoso mengingatkan, negara demokrasi yang liberal sah-sah saja mengungkapkan ekspresi. Namun dalam konteks Indonesia yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan beragam agama dan suku bangsa, menghina agama sangat lah tidak pantas.
“Kita bisa bercanda mengenai apa saja di alam demokrasi ini, tapi persoalan agama bukan hal bisa dibuat bercanda. Pertama itu adalah soal keyakinan, dan kedua soal hak asasi manusia,” ujarnya kepada Ngopibareng.id, Senin 4 Juli 2022.
Kedudukan agama, lanjut Chriswanto Santoso,bagi sebagian besar orang adalah paling suci. Bahkan, menempatkan kesakralannya di atas ayah ibunya.
"Tidak ada yang berkenan bila orangtua kita dihina, apalagi agama yang dihina. Bangsa Indonesia tidak bisa meniru kebebasan beragama seperti di Barat," pesannya.
Bila di Barat menghina agama lain sebagai bagian kebebasan berekspresi, Chriswanto Santoso menegaskan, di Indonesia sebaliknya.
“Toleransi itu beda dengan menghormati atau menghargai. Konsepnya, Anda bisa berbuat apa pun, tapi jangan melewati garis merah keyakinan orang lain. Menggratiskan minuman keras kepada nama Muhammad dan Maria, itu melanggar batas keyakinan yang paling suci umat Islam dan umat Kristen serta Katolik,” kata dia.
Menurut Chriswanto Santoso, setiap agama diajarkan untuk saling menghormati dan menghargai, tapi tetap ada batas toleransinya.
Dalam Islam, menghina agama atau sesembahan agama lain adalah hal yang dilarang, “Karena bisa dipastikan umat lain tersinggung dan balik menghina agama dan Tuhan umat Islam. Inilah pentingnya saling menghargai dan menghormati, serta membuka ruang toleransi, tuturnya.
Ketua Umum LDII juga meminta, semua pihak mengubah persepsi soal radikal. “Kata radikal selalu disematkan kepada pemeluk agama, sementara orang-orang sekuler ketika melewati batas, tidak disebut radikal. Radikalisme penganut sekulerisme justru tampak, saat mereka mulai mencemooh agama," tegas dia.
Hanya dengan saling menghormati serta mengikat diri sebagai bangsa yang satu, bisa menjadikan bangsa Indonesia, bangsa yang kuat.
Advertisement