Kasus Bullying Gunadarma, Kemana Empati Kita?
KEJADIAN di Universitas Gunadarma yang mengaku ‘world class’ itu menghenyakkan kita. Akun @lambe_turah Sabtu (15/7) mengunduh video tentang seorang mahasiswa penyandang status ‘Anak Berkebutuhan Khusus’ (ABK), pengidap autism di-bully oleh rekan-rekan mahasiswa di kampus.
Nasib Muhammad Farhan, ABK ini tersebut cukup tragis. Hanya karena menderita austis, ia mendapat perlakuan tak semestinya di kampus hampir tiap hari. Tampak di video dia diperlakukan tidak wajar oleh sekelompok mahasiswa. Ada beberapa anak lelaki dan wanita di sekitar kejadian di kampus Gunadarma.
Bahkan, menurut media, salah satu pelaku bahkan mengaku bahwa Farhan setidaknya satu kali dalam seminggu selalu di-bully kawan-kawannya sesama mahasiswa. Mahasiswa sakit!
Tentu saja, keluarga Farhan yang mengaku sangat menyesalkan kejadian tak-terpuji itu. ABK dan penyandang difabel bukanlah sasaran untuk permainan. Si anak menderita —dengan berbagai simptom yang ada — keluarga menumpahkan kasih sayang penuh dengan susah payah 7x24 jam menjaga berikhtiar mengintegrasikan si anak ke dalam konteks sosial yang lebih baik dan tetap mendoakan agar si anak pada suatu waktu akan mampu hidup mandiri — perjuangan yang tidak mudah— dan para ekspert di seluruh dunia bekerja untuk menemukan penyebab simptom untuk memperoleh solusi terhadap gejala yang prevalensinya kian meningkat di tengah-tengah kita.
Kerja keras keluarga untuk penyembuhan simptom ini — dengan biaya terafi dan medis yang tidak murah — seyogianya mendapat empati, apresiasi bahkan dukungan kita semua.
“Terimakasih atas dukungan dan perhatian teman-teman yang mensuport adik saya (Farhan),” tulis kerabat Farhan.
“Hati orangtua saya sangat hancur melihat video tadi, Mama masih menangis karena hal ini,” lanjutnya.
ABK adalah istilah yang digunakan dalam pengembangan diagnostik dan fungsional klinis untuk menggambarkan individu yang membutuhkan bantuan untuk penyandang cacat — medis, mental, atau psikologis — dengan simptom yang bervariasi, seperti autism, down syndrome, dyslexia, blindness, ADHD, or cystic fibrosis. Di beberapa negeri, ABK juga termasuk bibir sumbing dan kehilangan kaki.
Di samping ABK hadir pula di lingkungan kita penyandang difabel (different ability) yang sebenarnya memiliki kemampuan dalam menjalankan aktivitas berbeda bila dibandingkan dengan orang-orang kebanyakan, dan disabilitas(disability) bagi seseorang yang belum mampu berakomodasi dengan lingkungan sekitarnya.
Jadi, bukan hanya ABK, empati dan dukungan diharapkan. Juga kepada difabel dan disabilitas. They don’t deserve to be humiliated!
Mengapa kejadian bully-an terhadap Farhan dan berbagai anak ABK, difabel, disabilities bisa terjadi? Ini persoalan lingkungan yang tidak kondusif dan minimnya pendidikan atau sosialisasi: di rumah, di lingkungan sekolah atau tempat bekerja, dan bahkan di masyarakat luas.
Media ramai mengutuk pernyataan seorang dosen mengaku intelektual, dan menjadi pejabat di Kantor Berita Antara yang dengan teganya mampu melakukan verbal harrassment terhadap penderita autis. Kita masih ingat, dia membandingkan pendukung Anies Sandi dalam Pilkada DKI seperti anak super autis diberi pil penenang tetapi tidak akan menyembuhkan, tulisnya di akun Twitter. Sontak dia dicaci-maki, bahkan dituntut agar dicopot karena attitudeseperti itu tidak pantas dijabat oleh manusia berkualitas rendah dan tak berbudaya.
Berbudayakah kita? Di Eropa dan di Amerika — saya 18 tahun tinggal di dua benua ini — yang katanya tidak Pancasilais tetapi sangat menyadari dan memiliki empati dan karena itu memberikan dukungan bagi orang-orang pengidap autisme, ABK, penyandang difabel dan disabilitas. Cukup dengan alasan kemanusiaan.
Nilai-nilai penghargaan kemanusiaan kepada orang-orang yang kurang beruntung ini seyogianya mencegah terjadinyabully kepada mereka. Sekolah memberikan dukungan kuat, orangtua mengawasi dan mengedukasi anak-anak mereka, betapa manusia penyandang status ABK, difabel dan disabilitas itu bukanlah sasaran cemoohan. Mereka adalah manusia seperti kita dengan berbagai hak dan kehormatan yang melekat. Belum tentu manusia normal lebih mulia daripada mereka!
Jika benar masyarakat kita yang Pancasilais menjalankan agama dengan benar, penghargaan dan penghormatan pada nilai-nilai kemanusiaan adalah rekfleksi pengakuan kita atas kekuasaan sang Pencipta untuk menghadirkan mereka di muka bumi. Dia yang Maha Tahu mengapa mereka hadir di tengah-tengah kita. Menista ciptaannya berarti menolak keberadaanNya.
Orang-orang di Eropa, Amerika dan berbagai negara maju memang menjunjung tinggi peradaban. Bukan saja rasa empati kepada orang-orang yang tidak beruntung, tetapi dukungan baik untuk mengembangkan diri di sekolah maupun di tempat pekerjaan, para ABK, difabel dan disabilitias selalu mendapat prioritas.
Para ABK, penyandang difabel dan disabilitas tidak lebih rendah dari koruptor, penipu, dan sampah-sampah masyarakat yang berkeliaran bebas dan merusak keindahan hidup di tengah-tengah kita.
Tidak saja di lingkungan sekolah, di masyarakat negara maju juga sudah tertanam nilai dengan sanksi sosial yang berat bahwa penderita autism dan sejenis ABK lainnya, difabel dan disabilitas itu bukanlah barang mainan. Orang yang melakukan bully atau harrassment terhadap mereka dianggap bukan manusia berperadaban, paling tidak mereka dianggap bukan manusia berbudaya. Sejenis manusia berkualitas rendah. Bahkan, ancaman hukuman terhadap perilaku ini cukup keras.
Jika lingkungan masyarakat yang supportive, dan keluarga juga melakukan pendidikan dan sosialisasi kepada anak-anak betapa kita perlu memberikan dukungan bagi orang-orang yang tidak beruntung, hasilnya bisa berbeda dengan kejadian di Gunadarma maupun verbal harrassment yang dilakukan oleh pejabat publik.
Pesan ini bukan saja bernilai agamis, tetapi utamanya humanisme. Saling menghargai antara sesama umat manusia, siapapun dan dari lapisan mana mereka berasal.
Orang Eropa telah menutup buku ketika Hitler demi proyek manusia unggulnya melakukan aborsi sejak dalam kandungan bahkan membunuh ketika anak-anak terdeteksi memiliki kelemahan mental ketahuan ketika lahir. Karena itu kehadiran mereka — penyandang status ABK, difabel dan disabilitas — semakin tampak nyata dan kian visible.
Di Indonesia, masih punya moralkah kita untuk mengulangi peradaban tak berperikemanusiaan yang jauh dari nilai-nilai ketuhanan ini dan humanisme sekuler sekalipun ini?
Bagaimana mengatasinya agar bully dan berbagai jenis harrasment ini tidak terulang?
Edukasi terutama di rumah sangat penting, kepada anak-anak agar tertanamkan nilai-nilai betapa kita wajib memberikan dukungan bagi penderita autisme/ABK penyandang cacat fisik - mental lainnya. Kegagalan pendidikan di rumah akan melahirkan pembully-pembully lainnya bahkan seperti kelakuan tega seorang pejabat publik untuk melakukan perbuatan terhina itu.
Anak-anak autis, ABK, difabel maupun disabilitas memerlukan dukungan kita. Kita harus memiliki empati yang kuat, dan ini menjadi kewajiban orangtua yang jika diabaikan maka besiaplah para orangtua dituduh menciptakan lingkungan pendidikan di rumah yang tak memiliki nilai-nilai kemanusiaan. Atau, menafikan takdir Ilahiah.
Yang kedua tentu adalah pengawasan di lingkungan luar rumah. Apakah di lembaga pendidikan maupun di lingkungan pekerjaan: di kantor atau di tempat bekerja bahkan di lingkungan publik.
Di sini sanksi keras harus dijatuhkan, setelah sosialisasi nilai-nilai kemanusiaan dan bahkan UU yang apabila dilanggar akan mendapat sanksi berat. Minimal sanksi keras bagi lingkungan sekolah bahkan pemecatan di lingkungan bekerja, jika perbuatan harrassment terhina ini terbukti.
Kesadaran di negara-negara maju akan pentingnya empati, kontribusi dan dukungan bagi anak-anak penyandang autisme/ABK difabel dan disabilitas seyogianya menjadi contoh yang baik bagi kita yang mengaku ber-Pancasila.
Tanpa empati dan dukungan serta kesiapan menerima ABK dan penyandang difabel di tengah-tengah kita, mampukan bangsa ini mengklaim berbudaya?
*) Hazairin Pohan adalah diplomat karir yang pernah menjadi Dubes Polandia dan terakhir sebagai Direktur Eropa Tengah dan Timur Kementerian Luar Negeri RI. Dia juga pernah bertugas di PTRI di PBB New York.
Advertisement