KASN Ingatkan Netralitas Politik ASN, Melanggar Bisa Diblokir
Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mengingatkan netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam menyikapi tahun politik. Memasuki tahun-tahun politik, ASN rawan masuk ke ranah politik hanya ingin dipromosikan.
Hal itu disampaikan Ketua ASN, Prof. Agus Pramusinto saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Jember, Senin, 24 Oktober 2022. Seminar nasional itu digelar oleh Program Studi Administrasi Negara bersama Indonesian Asscociation for Public Administration (IAPA) Jawa Timur di aula lantai 2 FISIP, Universitas Jember.
Agus dalam paparannya menyampaikan, sesuai aturan, ASN hanya boleh bermain politik saat memberikan hak suara di bilik suara. Selain di bilik suara, ASN dilarang menunjukkan keberpihakan terhadap salah satu calon.
Namun, meskipun aturannya sudah jelas, ternyata ASN yang terjun ke politik praktis masih sering terjadi. KASN mencatat, pada pemilihan umum yang berlangsung pada tahun 2020, ada 2.034 ASN yang dilaporkan pada KASN. Laporan itu berasal dari Badan Pengawas Pemilu.
Dari 2.034 ASN tersebut setelah diselidiki, ternyata ada 1.596 ASN yang terbukti melanggar netralitas. 1.596 ASN yang terbukti melanggar, sebanyak 1.373 di antaranya sudah dijatuhi sanksi.
“Ada 1.596 ASN yang terbukti melanggar netralitas politik. Mayoritas adalah ASN dengan jabatan fungsional. Namun ASN pelaksana, administrator, dan pengawas juga ada, semua memiliki potensi melanggar netralitas,” kata Agus.
Agus merinci, berdasarkan jumlah ASN yang melanggar netralitas, Kabupaten Purbalingga menempati posisi teratas dengan jumlah 57 ASN. Kemudian Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro sebanyak 56 ASN.
Kabupaten Sumba Timur sebanyak 40 ASN, Kabupaten Wakatobi 38 ASN. Kemudian Kabupaten Mamuju 36 ASN, Kabupaten Halmahera Timur 34 ASN, dan Kabupaten Halmahera Selatan 33 ASN.
Disusul Kementerian Agama sebanyak 33 ASN, Kabupaten Konawe Utara 33 ASN, dan Kabupaten Kaimana 31 ASN.
Beberapa pelanggaran yang sering menjerat ASN di tahun politik beragam. Mulai dari turut serta melakukan kampanye calon melalui media sosial sebanyak 30,4 persen. Kemudian pelanggaran dengan kegiatan yang mengarah keberpihakan kepada salah satu calon sebesar 22,4 persen.
Kemudian melakukan foto bersama dengan bakal calon atau calon dengan mengikuti simbol Gerakan tangan 12,6 persen. Pelanggaran berupa menghadiri deklarasi pasangan bakal calon 10,9 persen. Dan pelanggaran berupa pendekatan kepada parpol 5,6 persen.
“Pelanggaran yang paling banyak adalah pada penggunaan media sosial yang tidak bijak. Biasanya mereka (ASN) mengunggah konten yang bernada menjatuhkan atau mendukung salah satu calon. Ini jelas melanggar Undang-undang Nomor 5 tahun 2014. Sanksi ASN yang terbukti melanggar netralitas bisa diblokir dan tidak naik jabatan,” jelas Agus.
Lebih jauh Agus menjelaskan, ada beberapa penyebab ASN melanggar netralitas di tahun politik. Salah satunya karena tercipta pola hubungan simbiosis mutualisme. Ada pola hubungan timbal balik antara birokrasi dengan politisi.
Satu sisi, politisi ingin meraih suara sebanyak-banyaknya. Sementara di sisi lain, ASN juga ingin mendapatkan promosi jabatan. “ASN berharap adanya promosi jabatan dari politisi yang dia dukung, jika kemudian menang,” tambah Agus.
Posisi ASN semakin dilematik saat yang menjadi calon kepala daerah merupakan petahana. Seorang calon petahana cenderung menyeret-nyeret ASN masuk ke ranah politik praktis.
Jika calon petahana berhasil memenangkan pemilu, maka ASN yang memberikan dukungan akan dipromosikan jabatannya. Sementara ASN yang tidak mendukung, akan dicopot dari jabatannya.
“Pasca Pilkada terjadi politik balas budi dan balas dendam. Yang mendukung mendapat posisi atau dipromosikan, yang tidak mendukung dicopot dari jabatannya. Hampir tiap hari KASN menerima pengaduan seperti itu,” lanjut Agus.
Lebih jauh Agus mengingatkan agar para ASN tidak perlu takut dalam menghadapi para politisi yang akan menduduki jabatan yang dia menangkan. Sebab sistem promosi jabatan yang saat ini diterapkan adalah berdasarkan kompetensi dan integritas yang dimiliki ASN.
“Karena dalam sistem merit, pola promosi pengisian kekosongan jabatan tidak didasarkan pada dukungan politik atau kekerabatan. Tetapi murni berdasarkan kompetensi dan integritas yang dimiliki ASN. Saat ini mekanisme itu sudah dilakukan sejak proses rekrutmen ASN,” pungkas Agus.
Sementara itu, Ketua IAPA Dewan Pengurus Daerah (DPD) Jawa Timur Dr. Mohammad Nuh dalam acara yang sama menyampaikan, dalam momen Pemilu, ASN selalu dihadapkan pada persoalan yang sulit jika dikaitkan dengan netralitas politik.
“Ada sebuah istilah yang menggambarkan hal itu. ASN itu ditempa oleh pandai besi politik. Artinya regulasi yang diterapkan pada ASN dibuat oleh para politisi dan kemudian politisi memanfaatkan ASN untuk kepentingan politiknya,” jelas Nuh.
Lebih Jauh Nuh menjabarkan, dalam teori principal-agent, pada hakikatnya seorang birokrasi (ASN) ada kecenderungan menempel pada para politisi untuk mempertahankan kedudukannya. Sementara pada sisi lainnya, politisi juga membutuhkan birokrasi untuk memuluskan jalan mereka meraih kemenangan dalam Pemilu.
Sehingga kondisi itu cukup sulit bagi ASN untuk bersikap netral 100 persen. Sebab, akan selalu ada sifat resiprokal dalam hubungan keduanya. Saling menguntungkan dan keduanya memiliki ketergantungan.
Sementara itu, Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan SDM Kabupaten Jember Suko Winarno menyampaikan, pemerintah daerah Kabupaten Jember sudah sejak lama menerapkan sistem merit dalam manajemen ASN.
Salah satunya proses seleksi pegawai yang sudah menerapkan penggunaan metode seleksi berbasis CAT (Computer Assisted Test) bekerja sama dengan BKN. Selain itu proses pengisian jabatan, BKPSDM Jember selalu melakukan penyusunan dokumen analisis jabatan dan penyusunan dokumen analisis beban kerja.
Dosen Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Jember Hermanto Rohman menyampaikan, selain masalah netralitas politik birokrasi Indonesia juga dihadapkan pada berbagai persoalan.
Beberapa persoalan di antaranya terkait radikalisme dan anti Pancasila. Persoalan itu hingga saat ini masih menjadi soal yang dihadapi birokrasi.
Karena itu, Hermanto merasa perlu dilakukan pembenahan secara menyeluruh, mulai sejak proses seleksi ASN.
Selain itu, persoalan kualitas dan mutu manajemen SDM ASN. Hermanto menilai kualitas dan mutu manajemen SDM ASN masih kurang baik.
“Pada sisi lain distribusi ASN kurang merata dan praktik transaksi jabatan masih menjadi PR bersama dalam proses reformasi birokrasi,” katanya