Kasihan Pak Prabowo
Terus terang saya adalah pendukung Jokowi. Pendukung garis keras mungkin malahan. Karena tidak hanya tahun ini saja, empat tahun lalu pun saya terlibat dalam kerja-kerja tim pemenangan nasional Jokowi sebagai calon presiden. Meski peran saya memang lebih banyak di belakang layar. Nah, dalam posisi sebagai pendukung Jokowi itu, sebetulnya saya kadang-kadang justru menaruh kasihan kepada kompetitor Pak Jokowi, dalam hal ini kepada Pak Prabowo khususnya. Terutama ketika Prabowo dicitrakan oleh para pendukungnya secara tidak rasional sebagai sosok pemimpin umat Islam atau figur yang (seolah-olah) sangat Islami. Menjadi seseorang yang dicitrakan religius atau taat beragama itu tidak mudah. Terutama jika dalam kenyataan sehari-harinya yang bersangkutan justru tidak agamis atau bukan pemeluk agama yang taat. Terlebih tidak pula memiliki pemahaman atau pengetahuan agama yang cukup. Pencitraan sebagai sosok agamis yang dipaksakan seperti itu justru menjadi semacam “jebakan batman” (untuk tidak mengatakan jebakan kampret) para pemujanya terhadap Prabowo. Prabowo bukan hanya akan menjadi salah tingkah, akan tetapi juga sangat berpotensi untuk dipermalukan di depan publik. Dan, ironisnya, itulah yang tengah terjadi saat ini! Prabowo, yang telanjur secara ceroboh digambarkan sebagai tokoh yang akan bisa memperjuangkan kepentingan umat Islam tersebut, ternyata gagal melakukan hal-hal sederhana yang seharusnya dapat dilakukan dengan mudah oleh seorang Muslim yang taat beragama. Misalnya saat berpidato dalam acara reuni alumni 212 awal Desember 2018, Prabowo salah mengucapkan "Rasulullah Shallaallahu Alaihi Wassalam" menjadi “Rasulullah Shallaallahu hulaihi wassalam.” Pada kesempatan lainnya, ia juga salah melafalkan "Allah Subhanahu Wa Ta’ala" menjadi “Allah Subhanahu watuulo” Baru-baru ini, Prabowo juga keliru memulai wudhu dengan mendahulukan kaki kiri, yang belakangan viral. Belum lagi kekeliruan Prabowo saat menyebut jenis sholat sunah di hadapan massa pendukungya, di Pilkada di Sumsel, Kamis (20/6/2018). "Di detik-detik terakhir saya imbau para kader dan simpatisan sholat istikharah untuk memenangkan Aswari-Irwansyah," kata Prabowo pada acara itu yang kemudian melalui siaran tertulis dikirim ke media-media. Kesalahan penyebutan jenis sholat itu sempat mengundang tertawaan sebagian hadirin. Harusnya Prabowo mengajak pendukungnya melakukan sholat hajat guna memenangkan calon kepala daerah yang didukungnya. Bukan sholat istikharoh. Karena sholat istikharoh justru dilaksanakan bagi mereka yang masih ragu menentukan pilihan. Dalam konteks ini para pemuja Prabowo telah sukses menjadikan sosok mantan Danjen Kopassus era Orde Baru itu sebagai semacam ustad Jarkoni. Alias ustad yang hanya bisa berujar tapi tidak bisa melakoni. Bahkan dalam kasus Prabowo ini, untuk berujar pun masih belum mampu pula. Prabowo juga tidak menjawab tantangan untuk menjadi imam sholat, seperti dicetuskan oleh bekas tim suksesnya, La Nyalla Mattalitti. Menanggapi tantangan itu, cawapres pasangannya, Sandiaga Uno, justru berkilah bahwa Pilpres bukan soal agama, melainkan soal ekonomi. Sementara Partai Gerindra akhirnya juga menyerah, dengan mengakui bahwa Prabowo memang bukan ahli agama (CNN Indonesia, 13/12/2018) Pertanyaannya, jika Pilpres adalah masalah ekonomi, mengapa para pemuja Prabowo sejak awal memainkan isu agama, seperti memobilisasi fatwa ijtima’ ulama? Meski tak jelas ulamanya siapa. Karena ijtima’ ulama itu toh ditolak NU dan Muhammadiyah --dua ormas Islam terbesar, yang jika digabung jumlah anggotanya bisa jadi mencapai separuh lebih warga negeri ini. Mengapa juga mereka memanfaatkan ajang reuni 212 yang jelas-jelas bernuansa agama? BLUNDER PRABOWO Sebetulnya kesalahan pencitraan berbasis agama tersebut tidak melulu bersumber dari para pendukung Prabowo saja. Faktor sosok Prabowo sedikit banyak ikut berpengaruh, sehingga akhirnya para pendukungnya mengaitkan nama Prabowo dengan identifikasi sebagai tokoh yang (seolah-olah) agamis atau taat beragama. Pertama, lantaran minimnya prestasi Prabowo di luar dunia kemiliteran yang bisa digali para pendukungnya untuk ditawarkan kepada publik. Ironisnya, prestasi moncer Prabowo di dunia ketentaraan pun akhirnya redup, akibat dipecatnya dia dari dinas militer --lantaran dugaan keterlibatan Prabowo dalam kasus penculikan aktivis pro demokrasi maupun percobaan kudeta terhadap pemerintahan Presiden BJ Habibie. Akibat minimnya prestasi Prabowo yang bisa dijual ke publik ini, tim sukses dan para pendukungnya sejak Pilpres 2014 lebih banyak melakukan kampanye negatif bahkan fitnah (black campaign) terhadap pesaingnya, yaitu Jokowi. Isu-isu yang menuduh Jokowi anti Islam atau terlibat PKI pun mereka glontorkan, seraya menyebarkan propaganda bodong bahwa Prabowo sosok pemimpin umat. Pertanyaannya, pemimpin umat yang manakah? Punyakah Prabowo rekam jejak dalam kegiatan atau kepengurusan organisasi-organisasi massa Islam, di luar kelompok pragmatis pemburu pamrih seperti FPI? Jawabannya: tidak ada. Kesaksian Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, Ketua Umum Partai Bulan Bintang yang berdieologi Islam modernis (Masyumi) mengonfirmasi hal itu. Kepada media, Yusril baru-baru ini mengaku ragu akan citra yang selama ini dikembangkan seolah pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno banyak berjasa untuk kepentingan Islam. Sebab, sepengetahuannya, selama ia mengenal dan bergaul dengan Prabowo dan Sandiaga, hampir tak ada rekam jejak yang mengindikasikan ke arah itu. "Jadi kalau Pak Prabowo dianggap sangat Islam, saya sendiri kurang percaya juga dengan hal itu. Apa iya? Sebab, nggak ada track record-nya," kata Yusril kepada detikcom, Kamis (8/11/2018). Begitu juga Sandiaga Uno. Yusril mempertanyakan kapan Sandi menjadi anggota PII (Pelajar Islam Indonesia) atau HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) atau apa pun. "Atau ketika ulama dikriminalisasi, dia teriak atau dia melawan?" tandasnya. Kedua, Prabowo sengaja atau tidak, mulai meniupkan “politik identitas” Islam ketika ia mengkonsolidasikan kekuatan perwira “hijau” untuk menandingi dominasi Menhankam/Pangab Jenderal Benny Moerdani, menjelang akhir kekuasaan Soeharto. Lantaran Benny tidak setuju Soeharto kembali menjadi presiden RI untuk kesekian kalinya, Benny pun lantas dikategorikan sebagai “musuh Islam” oleh Soeharto dan kroni, antara lain melalui Prabowo. Agama Benny yang Katolik digoreng untuk menimbulkan perasaan terancam di kalangan Islam. Penolakan Prabowo terhadap pengangkatan perwira tinggi beragama Hindu sebagai Danjen Kopassus penggantinya, kala ia naik posisi sebagai Pangkostrad, mengindisikasikan hal itu. Prabowo menolak perwira Hindu sebagai Danjen Kopassus dengan alasan agamanya berbeda dengan agama mayoritas prajurit Kopassus. “Saya sempat tidak terpilih menjadi Jenderal Pasukan Khusus (Kopassus) pada 1998 karena alasan sangat tidak profesional. Karena saya beragama Hindu,” tutur Mayor Jenderal TNI (Purn.) Sang Nyoman Suwisma, Ketua Umum Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) periode 2011-2016 kepada Merdekacom (23/3/2012). Maka, sejumlah perwira tinggi “hijau” pun menjadi lingkaran dekat Prabowo dan Soeharto. Seperti Jenderal Hartono, Mayjen Zacky Makarim, Mayjen Kivlan Zein, dan Mayjen Muchdi Pr. Dari sinilah dimulainya kedekatan atau titik temu aspirasi antara kelompok perwira “hijau” Prabowo cs dengan kelompok Islam kanan seperti FPI atau FUI. Kelompok perwira tinggi TNI yang mungkin pernah dimaksudkan oleh mendiang Gus Dur sebagai “Naga Hijau”. Tentara yang mestinya bervisi merah-putih pun mulai mempermainkan politik identitas dan membentuk klik “tentara hijau” berhadapan dengan “tentara merah putih” pro Benny Moerdani. Mungkin untuk Hartono, Zacky Makarim, Kivlan dan Muchdi, ditilik dari latar belakang keluarganya, masih bisa disebut sebagai betul-betul tentara santri atau Islam taat. Tetapi tidak demikian dengan Prabowo sendiri. Prabowo tidak memiliki latar belakang keluarga santri. Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo, lebih menggambarkan sebagai elite Jawa yang sudah terbaratkan (westernized) ketimbang keluarga santri taat. Bahkan Dora Marie Sigar (ibu Prabowo) dan Hashim Djojohadikusumo, adik kandung Prabowo adalah pemeluk Kristen yang taat. Prabowo disebut-sebut masuk Islam karena menjadi menantu Soeharto. Akan tetapi, Prabowo telah memilih untuk memainkan kartu “politik” Islam saat masih menjadi perwira aktif TNI AD. Dan ternyata, hal itu terus berlanjut ketika dia maju mencalonkan diri sebagai capres tahun 2014 dan 2108. Keputusannya untuk menggandeng PKS dan FPI dkk dalam peruntungan politik Pilpres dapat dilihat sebagai realisasi pilihan politik identitas Islamnya. Meski secara ideologis sebetulnya kendaraan politik Prabowo sendiri, yakni Partai Gerindra, tidak matching dengan PKS dan FPI. Gerindra berideologi nasionalis sekuler mirip PDI Perjuangan, sementara PKS dan FPI berideologi Islam kanan. Pilihan politik identitas ala Prabowo inilah yang kemudian ikut menjadi “jebakan batman” bagi dirinya sendiri: ia dicitrakan sebagai capres atau tokoh pejuang Islam oleh para pendukung dan pemujanya, sementara ia sendiri sebetulnya bukanlah sosok santri sejati seperti yang dibayangkan para pengikutnya. “Jebakan batman” yang akhirnya justru mempermalukan Prabowo sendiri dengan blunder yang membukakan mata publik bahwa memang Prabowo bukanlah tokoh Islam dan tidak kompeten dalam masalah keislaman. Walhasil, merespon tantangan “uji nyali” menjadi imam sholat dan membaca Al Quran bagi para capres yang dilontarkan La Nyala Mattalitti –mantan Direktur Pengalangan Timses Prabowo Tahun 2014—, kubu Prabowo akhirnya melempem. Partai Gerindra pun terpaksa mengakui secara terbuka bahwa Prabowo bukan ahli Islam. Dan Sandiaga Uno, cawapres Prabowo, harus ikut repot bersilat lidah demi menyelamatkan muka bosnya. Sandi berkata bahwa Pilpres bukanlah masalah agama, namun masalah ekonomi. Ekonomi!? Ekonomi dari Hongkong hehe… (*Jarot Doso) *Penulis menyelesaikan S1 dan S2 dengan spesialisasi politik Islam di Fisipol UGM Yogyakarta. Pernah bekerja sebagai wartawan Republika dan Tempo serta Tenaga Ahli DPR RI. Saat ini bekerja sebagai tim redaksi Jokowi App, aplikasi resmi Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin di Jakarta."Menjadi seseorang yang dicitrakan religius atau taat beragama itu tidak mudah. Terutama jika dalam kenyataan sehari-harinya yang bersangkutan justru tidak agamis atau bukan pemeluk agama yang taat"
Like
Advertisement