Karya Lini Natalini Teronggok di Balai Pemuda
Surabaya: Seni makin terpinggirkan. Tidak percaya, tengok saja apa yang ada di komplek Balai Pemuda. Sebuah patung kontemporer karya perupa Surabaya Lini Natalini Widhiasi (46), teronggok tak terawat di salah satu sudut pelataran, bersebelahan dengan toilet portable.
Karya ini hampir dua tahun lalu ikut dipamerkan pada even Bienale Jatim ke 6 yang berlangsung di Balai Pemuda 11 sampai 24 November 2015. Gelar senirupa dua tahun sekali itu diikuti 83 perupa dari seluruh Jatim, termasuk karya Lini Natalini.
Sebuah patung abstrak terdiri dari lempengan-lempengan aluminum yang membentuk bison, dengan rangka dari besi beton. Karena itu karya ini berjudul ‘Bison”. Ukurannya cukup besar. Panjang sekitar 4 meter, lebar 2 meter dan tinggi 3 meter. Pada beberapa sudut, lempengan aluminiumnya lepas. Beberapa bagian lainnya karatan kena hujan dan panas.
Di komplek Balai Pemuda saat ini sedang dilaksanakan proyek pembangunan parkir di basement atau bawah tanah. Proyek dilaksanakan multi years.Tahun lalu dengan nilainya Rp 19 miliar, sedang tahun ini dilanjutkan ke sisi selatan dengan nilai Rp 20 miliar. Pelaksana proyek baik tahun lalu maupun tahun ini sama, PT Cipta Karya Multi Teknik.
Balai Pemuda adalah cagar budaya tipe A yakni bangunan yang benar-benar harus dipertahankan. Sebuah monument atau tetenger sudah dihancurkan tahun lalu sebelum proyek ini dimulai. Yang kemudian jadi pertanyaan, dengan menggali tanah untuk areal parkir hingga kedalaman 10 meter, apakah ada yang menjamin tidak mempengaruhi struktur bangunan di kanan kirinya?
Pertanyaan berikutnya, apakah sebelum proyek dimulai terlebih dahulu dilakukan Amdal atau analisis dampak lingkungan? Pertanyaan-pertanyaan itu, sebaiknya ditujukan kepada para para anggota DPRD Kota Surabaya yang berkantor di sebelah utara komplek Balai Pemuda.
Jangan-jangan mereka malah tidak tahu kalau di Balai Pemuda ada proyek yang perlu perhatian khusus. Atau mereka sebenarnya tahu tetapi pura-pura tidak tahu?
Jangankan untuk urusan rumit dan besar seperti Amdal, untuk yang lebih mudah seperti patung Bison karya Lini saja tidak ada yang peduli.
“Ironis,” kata Cak Kandar, pelukis senior yang sedang mempersiapkan pameran tunggalnya di Bumi Hotel, Mei mendatang. “Ironis. Tetapi saya tidak tahu apakah karya ini sudah dibeli orang atau belum. Kalau sudah dibeli oleh orang atau lembaga, berarti orang atau lembaga tersebut sama sekali tidak menghargai karya seni. Betapa sedih perupanya apabila melihat karyanya yang dikerjakan dengan serius, tapi tidak menghargainya sama sekali seperti ini,” kata Cak Kandar.
Tetapi Cak Kandar juga mengingatkan, kita harus berimbang. “Kalau karya ini belum dibeli siapapun, maka perupanya ya harus peduli terhadap karyanya sendiri. Manakala penghelatan Bienal itu sudah selesai, maka dia harus membawa pulang karyanya, atau bagaimana kesepakatan awal antara perupa dengan pihak panitia mengenai pengembalian karya,” kata Cak Kandar hari Jumat (28/4) sore.
Lini Natalini Widhiasi, sang perupa, ketika dihubungi Jumat petang mengaku sedih juga melihat karyanya terbengkalai seperti itu. “Saya sedih kalau lewat depan Balai Pemuda. Pasti ingat karya saya ada di dalamnya,” kata Lini Natalini.
Lini mengerjakan karyanya itu antara 2 hingga 3 bulan. “Selesai Bienale, karya saya itu dibeli Dinas Pariwisata Kota Surabaya yang kala itu dipimpin Ibu Wiwiek Widayati. Dibeli lunas. Bahkan menurut ibu Wiwiek, karya saya itu sudah diberi nomor registrasi sebagai inventaris resmi. Tapi kemudian rencana penempatan patung karya saya itu jadi tertunda, karena Ibu Wiwiek keburu diganti oleh Kepala Dinas yang baru,” cerita Lini.
Sebelumnya, lanjut Lini, dirinya usul agar patung itu ditempatkan di taman. Taman manapun. “Karena kalau berada di taman lebih sesuai dengan tema karya. Tapi menurut Bu Wiwiek ketika itu, untuk menempatkan patung di taman harus berkoordinasi dengan Dinas Pertamanan. Dan itu tidak mudah, ya sudah. Saya tidak dapat apa-apa lagi karena memang sudah bukan milik saya,” kata Lini.
Lini Natalini adalah seniman Surabaya yang punya nama besar. Karyanya baik berupa lukisan maupun patung sudah tersebar dikoleksi orang tidak saja di dalam negeri tapi juga luar negeri. Dia adalah putri bungsu seniman Surabaya almarhum Tedja Suminar, yang wafat bulan Agustus tahun lalu.
Saat berlangsungnya Bienal 2015, Tedja Suminar sempat bercerita bahwa ada kolektor yang menginginkan Bizon karya putrinya. “Tapi belum ada kecocokan harga,” katanya sambil merokok kretek. Pak Te memang perokok berat, hingga menjelang wafatnya dalam usia 85 tahun. “Saya membuka harga Rp 225 juta,” tambahnya.
Menurut Cak Kandar, patung Bison saat ini ada di komplek Balai Pemuda dengan kondisi menyedihkan. “Dewan Kesenian Surabaya dan para seniman harus peduli, karena lokasinya berdekatan. Jangan cuma cuek saja. Ini persoalan kesenian, bukan persoalan proyek,” kata Cak Kandar. Menurutnya, memang penghargaan kita pada karya seni masih kurang. (m. anis)
Advertisement