Karya Imam Ghazali Berpengaruh Luas, Ulil: Tak Hanya Muslim Sunni
Salah satu karya Imam Al-Ghazali yang paling fenomenal adalah Ihya’ Ulumiddin yang memiliki pengaruh luas tak hanya di kalangan muslim Sunni tapi juga bagi kalangan Syi’ah bahkan di kalangan Yahudi pun pemikirannya mendapatkan tempat tersendiri.
Terdapat seorang filosofi Yahudi yang menuliskan ringkasan Ihya’ Ulumiddin yang ditujukan pada orang-orang Yahudi, yang mana ditulis ke dalam bahasa Arab dengan aksara Ibrani. Tulisan tersebut merupakan rangkuman dari pemikiran Imam Al Ghazali dari Ihya’ Ulumiddin mengenai pendisiplinan batin, atau dalam kitabnya disebut sebagai tahdzibu an nafs.
“Aspek pendisiplinan batin inilah yang merupakan pencapaian luar biasa dari Imam Al Ghazali,” kata Ulil Abshar Abdalla, dalam diskusi bersama ngopibareng.id.
Ulil menjelaskan, hikmah merupakan salah satu kebenaran yang dikehendaki oleh umat Islam dalam proses beragama. Jika diistilahkan dalam bahasa hadits disebut sebagai ihsan, yang merupakan puncak kebenaran yang hendak dituju oleh agama Islam.
“Untuk mencapai hikmah itu tidak bisa dilakukan secara instan, diperlukan proses yang panjang, apabila ada orang yang yang menghendaki hikmah dengan ujuk-ujuk, pasti tidak akan dapat,“ lanjutnya.
Ia memaparkan, ada beberapa proses yang harus dilampui untuk mencapai hikmah, salah satu proses untuk mendapatkannya adalah dengan dimulai dari hati atau iman. Iman merupakan sikap hati yang tepat untuk menghadap pada Tuhan dan merupakan syarat yang paling utama. Jika seseorang tidak memiliki iman, maka ia akan kehilangan kompas untuk menuju hikmah.
Namun iman baru menjadi start awal, lanjutnya, seseorang tidak akan mampu mencapai hikmah tanpa melalui syariah.
“Seseorang yang ingin mencapai kota A, namun ia tidak memiliki mobil, maka dia tidak akan pernah sampai,” kata intelektual NU itu mencontohkan.
Hikmah harus melalui jalan syariah, yang dalam bahasa filsafat kontemporer disebut sebagai proses pendisiplinan.
“Hikmah merupakan hasil disiplin atau usaha yang dilakukan secara konsisten, kalau dalam bahasa tasawuf disebut dengan istiqamah, dan dilakukan dalam waktu yang cukup panjang,” paparnya. (adi)