Kartini Mengaji Al-Quran, Memegang Kuat Akidah Islam
Raden Ajeng Kartini sempat protes atas pengajaran Islam. Aksi tokoh emansipasi perempuan itu memicu peningkatan kualitas penyebaran ajaran islam di tanah air. Bagaimana kisah salah satu fragmen sejarah Kartini ini?
Putri ningrat asal Jepara tersebut gelisah dengan pengkajian Islam pada saat itu. Al-Quran yang beredar tak diterjemahkan. Akibatnya tak semua paham makna ayat-ayat dalam kitab suci umat Islam tersebut.
Hal ini memicu kegelisahan batin Kartini yang penasaran tentang isi ayat-ayat Al-Quran. Kartini memang dikenal kritis dan memiliki rasa ingin tahu yang besar.
Kartini lahir dalam keluarga ningrat yang memegang kukuh tata nilai adat Jawa. Sang ayah, RM Sosroningrat, adalah bupati Jepara. Sementara ibunya, Ngasirah, berasal dari masyarakat biasa.
“Kartini itu perempuan cerdas. Karena cerdas, ia juga pandai mengaji. Kartini mengaji pada Kiai Saleh Darat di Semarang. Jadi, Kartini memegang erat akidah Islam ala Ahlussunnah Waljamaah,” kata KH Ahmad Chalwani, Wakil Rais Syuriah PWNU Jawa Tengah, dikutip ngopibareng.id, terkait Hari Kartini 21 April 2018.
“Sayangnya, fakta demikian terkait dengan kecerdasan Kartini memahami Al-Quran dan Islam ini yang dilupakan sejarah. Kita harus tetap mengingatkan hal ini agar anak cucu kita mengenal Kartini sebagai bagian lain dari Islam di Nusantara,” tegasnya.
Dalam tata nilai adat Jawa, rasa penasaran perempuan yang kini bergelar pahlawan nasional itu bukan hal lumrah. Terlebih lagi dia seorang perempuan. Kartini makin gelisah lantaran para ulama pada zamannya melarang umat Islam untuk mendiskusikan perkara agama dengan non-Muslim.
Maka yang bisa dilakukannya kala itu hanyalah menuliskan curahan hati kepada sahabat penanya, Stella Zeehandelaar. Salah satunya tercatat dalam surat bertanggal 6 November 1899 yang dikutip dari buku Habis Gelap Terbitlah Terang.
"Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?" tulis Kartini dalam suratnya.
"Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun agar bisa dipahami setiap muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini, orang belajar Al-Quran tapi tidak memahami apa yang dibaca."
"Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghapal bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya. Aku pikir, tidak jadi orang saleh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?"
Kegelisahan Kartini atas keputusan ulama melarang penerjemahan Al-Quran berlanjut sampai beberapa tahun kemudian. Dia lalu mengirimkan surat lagi kepada istri Direktur Pendidikan Agama dan Industri Hindia Belanda Nyonya Abendanon.
Dalam surat tertanggal 15 Agustus 1902 dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang itu, dia menuliskan tak mau lagi mempelajari Al-Quran .
"Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Quran , belajar menghapal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya," tulis dia.
"Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kitab ini terlalu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya," tulis Kartini. (adi)