Kartini di Tengah Pagebluk
Pagebluk memang membuat suram wajah dunia. Tapi, pada saat yang sama, pagebluk juga memunculkan sosok-sosok Kartini masa kini, para puan yang membikin hati bungah.
“Kami saling mengulurkan tangan,” kata Leya Cattleya Soeratman, pendiri EMPU, sebuah kelompok perempuan pengusaha yang mengedepankan nilai kemanusiaan dan lingkungan.
Gebrakan Covid-19 telah membuat jejaring EMPU di berbagai daerah seperti kehabisan napas. Penjualan kain, baik yang tenun, batik, atau shibori dengan pewarna alam, mandeg. Gaji karyawan tak terbayar.
Leya, bersama pendiri EMPU, yakni Chandra Prijosusilo dan Zubaidah Djohar (Ibed) menawarkan solusi: membuat masker kain. Ada kualifikasi masker yang disepakati. “Terdiri tiga lapis kain, bisa disisipi tisu, setia pada bahan dengan pewarna alam,” kata Leya.
Tak semua penjahit menyambut ajakan EMPU. Ada yang ragu. Leya, Ibed, dan Kiki jalan terus dan berbagi tugas. Bersama mereka saling menguatkan, juga saling curhat membahas berbagai soal. “Menangis juga bareng-bareng,” kata Leya.
Ibed kebagian merancang pola, hingga motif kain terpatri manis di tampilan masker. Panduan pola kemudian dibagikan ke jaringan penjahit dan artisan kain di berbagai lokasi, di Yogya, di Jember, sampai di Ambon. Melibatkan banyak orang adalah kunci agar ribuan masker bisa diproduksi. “Kerja cepat. Kita berlomba dengan waktu, membantu sesama mendapatkan sarana pelindung,” kata Ibed.
Kain-kain cantik pun berubah fungsi. “Awalnya nggak tega. Kain-kain cantik kok dipotong buat jadi masker,” kata Leya. “Saya bilang kepada teman-teman, apa kita punya pilihan? Kain-kain indah ini bisa jadi masker premium. Bisa jadi alat penggalangan dana, juga untuk penghasilan para penjahit.”
Jurus EMPU ternyata berhasil. Masker premium laris manis. Sebagian masker juga disumbangkan ke berbagai komunitas di NTT, Maluku, Kalimantan, Padang, Aceh, juga di LP Perempuan Pondok Bambu. Leya merangkul berbagai donatur, termasuk Rotary Club dan berbagai kelompok alumni, untuk memperkaya bantuan. Walhasil, ada yang menyumbang tameng wajah (faceshield), alat pelindung diri untuk tim medis, dan pembersih tangan.
Dana yang terkumpul dari penjualan masker digunakan untuk membantu pengiriman barang bantuan. Lumayan juga dana yang dibutuhkan. Ongkos kirim ke kotak masker ke berbagai kota bisa mencapai Rp 500-800 ribu sekali kirim.
Ribuan lembar masker, APD, face shield, telah disalurkan ke berbagai penjuru. Diterima dengan haru oleh mama-mama, juga tenaga medis yang bekerja dengan keterbatasan sarana. “Ibu, puskemas kami tidak jadi prioritas pembagian APD dari pemerintah,” kata Mama Nita, dari Puskesmas Waikoha, Ambon. Padahal, para perawat puskesmas juga berhadapan dengan ODP. “Itu berisiko bagi kami yang perawat. Jadi, faceshield ini sangat membantu kami.” #PuanIndonesia #Kartini2020 #Covid19
*) Mardiyah Chamim adalah wartawan senior yang tinggal di Jakarta.
Advertisement