Karomah Wali, Kiai As'ad Menangis Tersedu Rahasia Dirinya ...
Kiai As'ad Syamsul Arifin, Pendiri Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo Asembagus Situbondo. Santri Syaikhona Kholil al-Bankalani ini, dalam sejarah NU, yang diutus untuk menyampaikan pesan-pesan khusus sebagai isyarah pendirian organisasi -- kelak bernama Nahdlatul Ulama.
Suatu ketika, Kiai As'ad pernah menangis ketika santrinya mengetahui bahwa beliau adalah seorang komandan/pimpinan para Wali.
Tidak ada yang menyangka, ternyata Mursyid 13 tarekat (thariqah) dan ulama besar Nahdlatul Ulama (NU) ini adalah seorang Wali Qutub (pimpinannya para wali).
Berikut adalah kesaksian dari Kiai Mujib, putera KH. Ridwan Abdullah -- pencipta lambang NU.
Kiai As’ad laksana samudera tak bertepi. Beliau semakin didekati kian bertambah tidak kelihatan. Saya sangat berpengalaman. Bahkan saya pernah mencium seluruh tubuhnya, kecuali yang memang tidak boleh.
Setelah saya pijat selama hampir 3 jam, beliau tertidur sangat pulas. Saya ciumi sekujur tubuhnya, dari ujung kepala sampai telapak kaki.
Saya tidak mendapatkan bau apa-apa. Sampai hati saya berkata, “Beliau ini ada atau tidak ada? Apakah ini orang yang dikatakan sudah berada di maqam fana?”
Hampir 20 tahun saya hidup bersama beliau. Tambah dekat dan tambah lama, semakin tidak kelihatan, sulit ditebak. Saya baru diberi tahu dan mengerti, baru yakin siapa beliau ini, setelah saya sampai di Madinah tahun 1987 saat ditunjuk sebagai petugas haji oleh pemerintah.
Sebelum berangkat haji, saya pun minta izin kepada beliau.
“Pak Mujib, pergi haji Sampean ini sunnah tapi sampai (datang) ke Haramain tahun ini wajib (fardhu kifayah). Kalau Sampean tahun ini tidak datang ke Tanah Haram, dosa Sampean besar,” kata Kiai As’ad.
“Kenapa?” tanyaku.
“Jawabnya nanti di sana, bukan di sini,” kata Kiai As’ad.
“Namun Sampean jangan berkecil hati. Sampean saya pinjami ijazah. Setelah pulang, ijazah tersebut harus dikembalikan. Tidak boleh dipakai terus,”
“Kalau saya sudah hafal bagaimana, Kiai?” tanyaku.
“Ya terserah, kalau Sampean jadi bajingan,”
Sampai larut malam, saya tidak diperbolehkan pulang. Saya disuruh pulang besok pagi. Tapi ijazah itu, tidak ‘dipinjamkan’ sampai saya tertidur. Ternyata, dalam tidurku itu saya ditalqin ijazah. Lalu saya ditanya apakah masih punya wudhu. Saya jawab, masih punya. Baru kemudian saya ditalqin.
Menjelang Shalat Shubuh saya pun terbangun. Ternyata di bawah bantal ada secarik kertas yang ditulis oleh Kiai As’ad. Bunyinya persis seperti ijazah dalam tidur tadi. Mungkin beliau takut saya lupa.
Setelah saya pulang dari haji, beliau sudah ada di rumah saya ingin mengambil ijazah itu.
“Saya tidak minta oleh-olehnya, Pak Mujib. Hanya saja ijazah itu harus dikembalikan,” kata Kiai As’ad.
Mungkin, ijazah itu takut disalahgunakan.
Alhamdulillah saya berhasil menunaikan ibadah haji. Ada beberapa peristiwa yang saya alami, yang hanya bisa saya ceritakan kepada Kiai As’ad. Semuanya saya ceritakan. Lalu saya bertanya:
“Ada satu Kiai, yang menyangkut Panjenengan,”
“Lho, Sampean ke sana mau ngurus saya juga ya?” tanya Kiai As’ad dengan nada marah.
Saya pun dimarahi oleh beliau. “Sampean ke sana dengan saya pinjami ijazah segala, jadi ngobyek saya juga ya? Kurang ajar Sampean ini!” katanya agak marah.
“Ya tidak begitu, Kiai. Masa saya sudah ikut Panjenengan hampir 20 tahun, kok tidak tahu siapa sebenarnya Panjenengan?” jawabku.
“Lha iya, Sampean ngobyek, ingin tahu saya. Apa hasilnya?”
“Saya disuruh membacakan ayat di hadapan Panjenengan!”
“Ayat apa?” tanya Kiai As’ad.
“Ayat Al-Quran. Dengan syarat, kalau Panjenengan mau. Kalau tidak mau ya tidak usah!” jawabku.
“Mana ada kiai yang tidak mau dibacakan Al-Quran? Gila Sampean ini!” kata Kiai As’ad.
“Lha wong ‘Bos’ di sana bilang begitu, Kiai,” kata saya melucu.
Ceritanya, sewaktu di Tanah Haramain saya bertemu ‘Bos’. Kata Bos: “Kalau Kiai As’ad tidak mengaku siapa sebenarnya beliau, bacakan ayat ini. Dengan catatan beliau harus mau.”
“Kalau tidak mau, ya saya tidak akan pernah tahu siapa Kiai As’ad,” jawabku. Karena itu saya pun mendesak ‘Bos’ itu.
Lalu ‘Bos’ berkata: “Ya… tidak maunya itu ngakunya!”
Saya lalu membacakan ayat yang dimaksud di hadapan Kiai As’ad.
Belum selesai saya membaca ayat tersebut, Kiai As'ad menangis sejadi-jadinya, menjerit sampai bercucuran air mata. Inilah pengakuan yang tidak bisa dihindari. Saya tembak di tempat dengan resep ‘Bos’ tadi. Ya, jangan tanya siapa ‘Bos’ tersebut.
Saya tunggu. Beliau nangis hampir satu jam, itu pun masih terisak-isak seperti anak kecil. Lalu saya diajak salaman. Ketika saya mau mencium tangan beliau, tidak diperbolehkan.
“Kali ini Sampean tidak saya izinkan mencium tangan saya,” kata Kiai As’ad masih dalam keadaan terisak.
Saya pucat. “Wah, haji saya kali ini mardud (tertolak),” begitu dalam benak saya. Mengapa? Sebab saya telah membuka rahasia besar, yang di dunia ini orangnya hanya satu. Wali Quthub ini, di dunia hanya satu. Itu rahasianya saya buka, walaupun saya disuruh ‘Bos’.
“Pak Mujib, apa Sampean tidak keberatan belas kasihan sama saya. Saya minta belas kasihan Sampean. Saya minta belas kasihan Sampean agar jangan sampai ngomong kepada orang lain selama saya masih hidup, siapa diri saya ini!” Demikian Kiai As’ad meminta kepadaku.
*) Kisah ini disampaikan melalui penuturan Gus Sholahuddin Azmi, putra Kiai Mujib Ridlwan, kini Wakil Ketua PCNU SUrabaya.
Advertisement