Karma, Reality Show ANteve Haram Ditonton. Ini Penjelasannya
"Tayangan Karma itu memuat konten bernuansa kahin atau peramal. Peramalnya itu sendiri hukumnya haram," kata Ustadz Ali Maqhfur.
Tayangan reality show "Karma" akhirnya dihukumi haram. Hal itu terungkap dalam Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur, yang dihasilkan dari Keputusan Konferensi wilayah (Konferwil) NU Jawa Timur, 28-29 Juli di Pesantren Lirboyo Kediri.
Keputusan dan sejumlah fatwa yang mengikat warga Nahdliyin. Karma menjadi salah satu pembahasan dinilai memicu pro dan kontra di masyarakat.
Ketua Komisi Waqi’iyyah Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur, Kiai Ali Maqhfur Syadzili, yang menjadi ketua tim perumus mengatakan program televisi Karma termasuk sebagai hal yang dilarang oleh agama atau haram.
"Tayangan Karma itu memuat konten bernuansa kahin atau peramal. Peramalnya itu sendiri hukumnya haram," kata Ustadz Ali Maqhfur pada ngopibareng.id, Senin 30 Juli.
Gus Ali menjelaskan, ada tiga hal yang dibahas oleh tim perumus-- terdiri dari lima kiai Musahih dan lima kiai perumus atas tayangan tersebut. Pertama, soal hukum penayangannya; kedua, hukum menonton tayangannya; dan ketiga, hukum mendaftarkan diri menjadi peserta program Karma.
Dari sisi penayangan, program ini memiliki tiga persoalan yang dinilai melanggar akidah. Ketiganya adalah membuka dan menyebarluaskan aib seseorang, mempublikasikan praktik keharaman, serta merusak akidah orang lain.
Kemudian hukum menonton tayangannya pun juga menjadi haram karena sesuatu yang haram, meskipun bisa memunculkan hal positif, tidak akan mengubah keharamannya. Kecuali jika menontonnya untuk membuat kajian agar bisa mengingatkan orang lain untuk tidak mempercayai.
"Kami sebelum membahas ini, harus melihatnya dulu, tapi untuk membuat kajian," kata Kiai Ali.
Sedangkan hukum untuk masyarakat yang mendaftar sebagai peserta program itu disepakati oleh para musyawirin (tim perumus) termasuk dalam perbuatan haram. Mereka akan disamakan dengan mendatangi praktik peramal untuk menyelesaikan persoalan.
Pembahasan tentang program siaran televisi Karma ini sempat menyulut silang pendapat di antara para kiai. Mereka bahkan membutuhkan waktu berdiskusi sejak pukul 00.05 – 02.15 WIB hanya untuk membahas dua sub tema saja. Sidang terpaksa dilanjutkan keesokan harinya untuk menentukan hukum menjadi peserta program siaran Karma.
"Tak hanya tayangan Karma, tim perumus Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur ini juga membahas dua usulan masalah yang disampaikan pengurus cabang NU dari berbagai daerah."
Bahtsul Masail di Konferwil NU Jatim
Tak hanya tayangan Karma, tim perumus Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur ini juga membahas dua usulan masalah yang disampaikan pengurus cabang NU dari berbagai daerah. Di antaranya adalah hukum Iddah atau masa tunggu bagi perempuan Muslim yang memiliki karier.
Rumusan ini berawal dari pengalaman seorang pemilik usaha pakaian atau butik yang ditinggal mati oleh suaminya. Mengacu pada hukum Islam, perempuan muslim itu wajib mematuhi masa Iddah untuk tidak keluar rumah selama empat bulan 10 hari. "Ketentuan untuk istri yang ditinggal mati suaminya seperti itu," kata Kiai Ali.
Para musyawirin berpendapat, tak ada pengecualian dalam kematian suami terhadap istrinya untuk tidak mematuhi masa Iddah. Terlebih jika sudah ada jaminan nafkah bagi dirinya dan keluarga untuk tetap bisa makan tanpa harus meninggalkan rumah selama masa Iddah berlangsung. Musywarin hanya membolehkan perempuan karier keluar rumah jika memang terjadi ancaman kelangsungan nafkah selama masa Iddah belum berakhir.
Persoalan ketiga yang turut dibahas dalam forum dua kali dalam setahun itu adalah hukum menumpang listrik ke masjid atau pondok pesantren bagi pengurus masjid dan pondok. "Persoalan ini kita bahas karena banyak sekali terjadi di lapangan," kata Kiai Ali.
Selama ini banyak pengelola pondok atau masjid yang menyambungkan jaringan listrik rumah mereka ke pondok atau tempat ibadah. Hal ini sempat menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat hingga perlu dibuatkan fatwa oleh para kiai. Hasilnya, para musyawirin bersepakat untuk membolehkan hal itu dengan beberapa pertimbangan.
Pertimbangan utama adalah para pengelola tersebut telah melakukan aktivitas atau pekerjaan sosial terhadap pondok atau masjid, sehingga layak mendapatkan fasilitas penggunaan listrik yang dibiayai pondok atau masjid. "Sebab merekalah yang melakukan aktivitas sosial itu," kata Kiai Ali.
Seluruh hasil Bahtsul Masail itu selanjutnya akan menjadi rekomendasi kepada pengurus PWNU Jawa Timu terpilih pada masa khidmat 2018 – 2023 mendatang. Hasil rekomendasi itu selanjutnya layak disebut sebagai fatwa karena mengikat seluruh anggota NU di Jawa Timur. Jika dianggap penting, fatwa itu bisa dinaikkan ke forum Muktamar NU untuk menjadi fatwa nasional yang mengikat seluruh anggota NU di mana saja.
Adapun persoalan yang dibahas dalam forum Bahtsul Masail tersebut, merupakan usulan dari masing-masing pengurus cabang NU di Jawa Timur. Namun tidak menutup kemungkinan masyarakat bisa mengajukan pertanyaan untuk ditinjau dari hukum agama jika dinilai layak dan berdampak pada masyarakat luas.
Forum Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur yang digelar dalam Musyawarah Kerja Wilayah di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri ini terdiri dari dua komisi. Selain Komisi Waqi’iyyah yang membahas program televisi Karma, terdapat Komisi Maudlu’iyyah yang membahas kerukunan umat beragama.
Masing-masing komisi digawangi oleh para kiai yang memiliki ilmu Fikih, atau syariat Islam yang membahas hukum yang mengatur perbuatan manusia.
Selain Kiai Ali Maghfur Syadzili, Komisi Waqi’iyyah ini terdiri atas Kiai Asyhar Shofyan, Kiai Makmun Djazuli Mahfudz, Kiai Fauzi Hamzah, dan Kiai Syihabuddin Sholeh. Sementara anggota tim Mushahih terdiri atas Kiai Yasin Asmuni, Kiai Mahrus Maryani, Kiai MB Firjoun Barlaman, dan Kiai Murtadho Ghoni.(adi)
Advertisement