SAYA bertanya kepada anak-anak: “Andaikan dalam hidup ini tidak ada hukum, apakah kamu mencuri?” “Tidak”, jawabnya. “Kenapa?” “Karena saya manusia” “Kenapa karena kalian manusia maka kalian tidak mencuri?” “Karena manusia punya akal, kemampuan berpikir tentang kewajiban dan hak, serta menghitung keseimbangan dan harmoni kebersamaan” “Kalau Tuhan tidak pernah mengutus Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul untuk mengajak berbuat baik, apakah kamu berbuat buruk?” “Tidak” “Kenapa?” “Karena saya manusia” “Bukankah manusia wajar jika berbuat buruk?” “Ya. Tapi tidak wajar bagi kemanusiaan saya” “Bukankah baik maupun buruk adalah kelengkapan manusia?” “Menurut akal saya, baik dan buruk bukan untuk dilengkapkan, melainkan untuk dipilih. Dan saya tidak memilih keburukan” “Bagaimana kalau ada suatu keadaan yang tidak memberimu peluang kecuali berbuat buruk? Misalnya korupsi atau berdusta?” “Hati saya akan hancur, karena hati saya hanya siap dengan keindahan. Pikiran saya akan buntu dan tidak bisa bekerja, karena perbuatan buruk akan membikin konslet pikiran saya” “Andaikan Tuhan tidak mengirimkan Kitab Taurat, Zabur, Injil, Al-Qur`an, juga tidak ada Wedha atau Bagawadgita atau kitab ajaran apapun lainnya, apakah hatimu tega menyakiti sesama manusia?” “Tidak” “Kenapa?” “Karena saya manusia. Manusia memiliki rasa sakit dan menyadari perbedaan dan jarak antara sakit dengan sehat. Kalau saya menyakiti manusia, maka yang saya sakiti adalah juga diri saya sendiri, sebab saya juga manusia. Saya manusia yang bukan manusia lain, tetapi muatan jiwa kami hanya satu, yakni kemanusiaan, rasa sebagai manusia” “Andaikan kamu tahu bahwa dulu Qabil membunuh Habil saudaranya sendiri, kemudian tidak ada pernah kamu dengar larangan membunuh, apakah kalian pernah akan membunuh?” “Tidak” “Kenapa?” “Karena saya manusia. Saya membutuhkan kehidupan. Saya tidak berani memisahkan manusia dari kehidupan, karena logika akal saya mengatakan bahwa pasti ada yang berhak untuk menyatukan atau menyatukan manusia dengan kehidupan. Dan yang berhak itu jelas bukan saya” “Andaikan tidak pernah kalian dengar kalimat an-nadlofatu minal iman, kebersihan itu bagian dari iman, apakah kalian tidak mandi?” “Tetap mandi” “Andaikan kalian tidak tahu bahwa dalam kehidupan ini ada Tuhan, apakah kalian tetap makan, minum, buang air kecil dan besar, berpakaian, bikin tempat berteduh, membikin alat untuk dikendarai?” “Ya. Di dalam diri manusia saya sudah tertanam naluri dan kesadaran untuk melakukan itu semua, meskipun andaikan saya tidak tahu siapa yang menanamnya”. (Bersambung) *) Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) adalah budayawan dan pencerah lewat Kiai Kanjeng