Karena ISIS dan Radikalisme, NU Tegaskan Identitas Kenusantaraan
Katib Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf menegaskan, Islam Nusantara tidak didakwahkan seperti halnya ajaran. Menurutnya, Islam Nusantara sebagai strategi komunikasi NU untuk menyampaikan realitas di masyarakat dan realitas sejarah.
Menurut Gus Yahya, panggilan akrabnya, yang didakwahkan PBNU, sebaliknya, adalah nilai-nilai yang dimiliki Nahdlatul Ulama misalnya konsep Islam Wasathiyah.
“Islam Nusantara tak perlu (didakwahkan) karena itu realitas kita. Kita dakwahkan nilai-nilai NU, sejak awal membangun ini, kita mengangkat tentang Islam Nusantara itu sebagai strategi komunikasi,” kata Gus Yahya.
Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang ini mengungkapkan hal itu, saat Pembukaan Simposium Nasional Islam Nusantara di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Sabtu 8 Februari 2020.
Ia menambahkan, tidak akan ditemukan diskursus tentang Islam Nusantara sebab oleh PBNU tidak didefinisikan kecuali bahasa Islam Ahlusunah Waljamaah. Ulama NU sepakat untuk memperkaya pemahamannya.
Munculnya bahasa Islam Nusantara, ucap Gus Yahya, tentu ada penyebab, sama seperti munculnya bahasa Islam moderat penyebabnya karena muncul bahasa radikalisme agama.
Pada bagian lain, Gus Yahya menegaskan, lahirnya bahasa Islam Nusantara merespons realitas saat banyak masyarakat baik dari kalangan bawah maupun dari kalangan elite umat Islam bergabung dengan kelompok teroris Islamic State for Irak and Siria (ISIS).
Atas dasar realitas tersebut dirasa diperlukan identitas serta pendalaman masalah, apa penyebab masyarakat tersebut bergabung dengan ISIS. Sebab, jika masalahnya adalah kebodohan dan kemisinan nyatanya di antara masyarakat yang gabung ISIS itu adalah orang-orang pandai bertitle profesor dan kalangan konglomerat.
“Maka ada sesuatu yang harus kita pahami, kenapa mereka ikut aksi terorisme. Misalnya pada penembakan di Selandia Baru, yang kemudian dibalas aksi terorisme lagi di Srilanka yang dilakukan oleh satu keluarga, ternyata keluarga tersebut adalah pengusaha terkemuka, anak anak kaya,” tuturnya.
Berdasarkan diskusi yang banyak dilakukannya bersama tokoh-tokoh dunia, Gus Yahya menyebut variabel radikalisme agama tidak ada yang konsisten.
“Maka dari sini, masalah ini harus dipahami dalam konteks yang lebih luas, berdasarkan geopolitk. Kita harus melihatnya dengan lebih jernih apa sebenarnya yang jadi masalah karena kita tidak terjebak dalam konseptualisasi rumit yang belum tentu ada gunanya untuk menyelesaikan masalah,” tegas Gus Yahya.