Kapal Majapahitan: Miniatur dan Rekam Jejak Negeri Bahari
Perkara hobi, kadang teramat susah untuk dinalar.Tak jarang, seseorang, berani menanggalkan profesi, pekerjaan, bahkan kemapanan, untuk sebuah hobi. Keren. Benar-benar out of the box.
___________
Ada juga, bahkan tak sedikit orang, yang menjadikan hobi sebagai pekerjaan. Mata pencarian utama, untuk memenuhi tuntutan hidup. Ada yang sukses, ada pula yang tersuruk.
Djuhari Witjaksono adalah katagori yang berada di alinea pertama di atas. Dia memutuskan meninggalkan perkerjaan yang mapan demi merangkai hobi lamanya yang sudah terkubur.
Pak Djuhari, demikian warga Jl Brawijaya 302 Kota Mojokerto ini biasa disapa, sejatinya adalah kontraktor. Spesialisasinya adalah konstruksi dan bangunan. Di bidang ini, namanya, juga perusahaannya, sangat ternama di Mojokerto dan Jawa Timur.
“Tapi itu masa lalu,” katanya santai. Menjadi kontraktor, sambungnya, membuat dirinya serasa berlari kencang setiap waktu. Nyaris seperti tak ada terminal untuk berhenti. Sekali pun sedikit saja untuk mengurusi hobi.
Dunia yang digeluti sebelumnya ini lbanyak tikungan. Beragam jebakan. Jalan juga tidak selamanya mulus. Sukses atau jatuh masing-masing mempunyai peluang sama. Seperti dua sisi mata uang. Di dunia kontraktor dirinya bahkan pernah jatuh hingga tiga kali.
Dua kali sudah Djuhari Witjaksono mengaku mampu bangkit dari keterpurukan itu. Namun untuk kali yang ketiga, ia merasa awang-awangen (baca: gamang) untuk membangun kembali kerajaan bisnis konstruksi dan bangunan miliknya.
Djuhari lantas memikir, kenapa ia tak mencoba membangun ”kerajaan” yang lain saja.Toh tantangannya juga tak jauh berbeda. Seperti membuat sebuah konstruksi.
Seketika, bermacam gagasan bermain-main dalam benaknya. Tahu-tahu nalurinya sudah bergerak. Tangannya pun dengan cekatan merangkai bermacam kayu. Memotong, mengamplas, melubangi, mengelem, memadukan kreasinya dengan hasil riset. Lalu membentuklah miniatur kapal megah jaman Kerajaan Majapahit bertengger megah di atas meja pajangan. Memukau mata dan ingatan sejarah.
Karya kerajinan ini pun mengundang decak. Kota Mojokerto malah menjadikan kerajinan miniatur kapal kreasi Djuhari sebagai produk unggulan daerah. Juga menjadikan ikon baru untuk menggaet para wisatawan.
Bagi banyak orang, miniatur kapal majapahitan ini merupakan refleksi adikarya nenek moyang. Tak hanya di dalam negeri, karya Djuhari juga begitu menggugah masyarakat dunia. Maka tak heran jika karya kerajinan dari Kota Mojokerto ini juga sangat diminati di mancanegara seperti China, Kuwait, Rusia, Canada, Chili, Las vegas, hingga Amerika Serikat.
Respon luar biasa ini yang akhirnya membuat Djuhari mendirikan Sanggar Seni Bahari sebagai media workshop sekaligus tempat untuk produksi.
Menurut Djuhari, sebenarnya sejak 1980-an dirinya sudah main-main dengan kreasi miniatur kapal Majapahitan ini. Tema yang paling diminatinya sejak dulu. Budaya bahari sudah ada di jaman Majapahit yang dulunya berpusat di Mojokerto. Budaya nenek moyang yang ternyata unggul di mata dunia inilah yang akhirnya menjadi tempatnya berlabuh setelah meninggalkan dunia kontraktor.
Seiring dengan waktu, perajin minitur kapal di Mojokerto kini mencapai ratusan jumlahnya. Perajin-perajin tersebut rata-rata dulunya adalah bekas anak didik Djauhari melalui media workshop di Sanggar Seni Bahari.
“Ini adalah berkah bagi saya, artinya budaya bahari cukup mampu menjadi virus untuk mencintai kembali sejarah nenek moyang yang ternyata sangat unggul itu. Sisi yang lain, bisa menghasilkan nilai ekonomis sebagai mata pencarian masyarakat Mojokerto,” katanya.
Untuk melayani pesanan miniature kapal dari China, negara-negara di Arab, Rusia dan lainnya, Djuhari kini dibantu beberapa orang pekerja. Pesanan ekspor miniatur kapal yang banyak digemari adalah kapal-kapal dagang dan kapal perang di masa majapahit.
Meski menggarap pasar ekspor yang ketat dengan persyaratan juga target pengiriman, Djuhari mengaku tidak bisa menganut sistem itu. Sebab, untuk miniatur kapal buatannya selalu mempertimbangkan semua aspek, termasuk melakukan yang paling berat yaitu riset. Inilah yang menjadikan miniatur kapal menjadi barang bernilai seni tinggi.
Karya monumental Djuhari yang lain selain Kapal Majapahitan adalah miniatur Perahu Borobudur dan Perahu Jong Java. Kedua karya berdasarkan hasil riset. Meskipun begitu, Pemesan dari China dan Eropa sudah antri berdatangan.
Setelah riset kelar biasanya langsung produksi. Pertama-tama adalah mengolah kayunya. Dipotong-potong menyesuaikan skala yang diinginkan pemesan dan desain. Menurut Djuhari pada dasarnya semua jenis kayu bisa dipakai untuk miniature kapal, tapi untuk kebutuhan ini kayu jati adalah yang paling bagus.
Potongan-potongan kayu kemudian dihaluskan dengan mesin amplas, dilubangi, dibor, ditipiskan, dibentuk lengkungan, dibentuk lancip dan seterusnya. Sedang mengelem dari kayu-kayu yang sudah dibentuk tersebut adalah kerja rumit yang berikutnya.
Penghargaan H. Djuhhari Witjaksono: - Pemenang terbaik kerajinan Asia Tenggara di Bangkok, 2006 -Pemenang lomba terbaik desain cenderamata berciri khas Indonesia, Jakarta International Gift Show, 1998 - Pemenang pertama lomba cenderamata khas Jatim untuk tamu negara/pemerintah daerah 1997 - Upakarti, 1991
Jika desain awal sudah kelar, sudah membentuk model perahu, baru kemudian disusun segala macam pernak-perniknya. Dimulai dari ornament kapal, tali temali, tiang kapal, tiang layar, dan layar itu sendiri. Rumus penting dalam proses pembuatan minitur adalah 100 persen diupayakan sesuai dengan aslinya, sebab itu diperlukan riset yang mendalam.
Untuk satu miniature, butuh waktu pengerjaan 2-3 bulan. Karena itu, margin pembuatan miniatur kapal sangat tinggi dan tidak bisa dikejar denga target. Setelah produksi kelar, harganya pun relatif mahal. Satu model kapal majapahitan misalnya, harga paling rendah dipatok 15 juta rupiah. Paling tinggi hingga 200 juta rupiah. Harga sangat tergantung dengan skala miniatur dan tingkat kerumitan desain.
“Harga seperti itu menurut saya adalah harga yang wajar. Sebab yang saya jual disini bukan kayunya, bukan pula sekadar perahunya, melainkan inovasi dan sentuhan seninya,” katanya.
Di dalam negeri, karya miniatur Djuhari Witjaksono juga direspon penghargaan tinggi. Simbol Bank BNI 46 adalah perahu perdagangan di jaman Majapahit, sedang miniatur perahunya adalah made in Djauhari dari Mojokerto. Tidak saja perusahaan mentereng seperti BNI 46 yang menjadi kolektor produk Djauhari, tetapi berbagai perusahaan mancanegara juga memesannya. Kini Sanggar Seni Bahari miliknya sedang menggarap pesanan dalam jumlah besar ke negara Kuwait.
Meskipun produk miniatur kapal Majapahitan berhasil melakukan lompatan ekspor hingga mancanegara, namun produk Djauhari ini bukan produk yang murah. Walhasil, bagi kolektor di negeri sendiri yang tak cukup berkantong tebal tak mungkin bisa memboyong budaya moyang ini untuk hiasan kebanggan di rumahnya. widikamidi
Advertisement