Kandang Kerbau Menjadi Cikal Bakal Ponpes Assiddiqiyah
Bercerita tentang Pondok Pesantren (Ponpes) Assiddiqiyah di Kedoya, Kebun Jeruk, Jakarta Barat, tidak bisa dipisahkan dengan almarhum KH Mahrus Ali, Lirboyo Kediri, Jawa Timur. Melalui ulama kharismatik ini, Ponpes Assiddiqiyah lahir dan berkembang pesat.
Orang hanya melihat ujud Ponpes Assiddiqiyah yang sekarang. Tak banyak yang mengetahui bagaimana awal perjalanan ponpes tersebut.
KH Mahrus Ali yang memberi amanah kepada KH Noer Muhammad Iskandar SQ untuk mendirikan pondok di atas sebidang tanah yang ia tunjukkan. Bukan tanah lapang yang siap bangun, tapi bekas kandang dan kubangan kerbau.
"Di atas lahan ini kamu harus mendirikan pondok pesantren," kata Kiai Noer menirukan pesan gurunya kala itu, kepada Ngopibareng.id, Rabu 16 April 2020.
Kiai Noer sebagai pendiri sekaligus pengasuh Ponpes Asshiddiqiyah, tergolong berani dalam menerapkan prinsip kehidupan pesantren yang dikenal sangat tradisional di tengah kehidupan metropilitan Jakarta.
Langkah pertama yang dilakukan Kiai Noer adalah membangun musala kecil dari tripleks.
"Santri saya waktu hanya dua orang, salah satunya dari Malaysia," kenang Kiai Noer.
Ponpes Assiddiqiyah yang memasuki usia 33 tahun pada Februari 2020 lalu, telah memiliki 12 cabang dengan jumlah alumni 16.000 orang.
Upaya membangun ponpes di Ibu Kota dilalui dengan perjuangan panjang dan tantangan yang berat. Namun berkat dukungan dan dorongan yang begitu kuat dari gurunya, Kiai Noer pun berhasil.
“Ia banyak membuka wawasan dan cakrawala berpikir saya akan pentingnya pendidikan bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia,” kata kiai kelahiran Sumber Beras, Banyuwangi, Jawa Timur 5 Juli 1955 itu.
Melihat sosok Kiai Noer, kita bagai menyaksikan suatu fenomena “perpindahan kebudayaan atau migrasi kultural. Gejala migrasi ini berlangsung intensif pada sejumlah anak pesantren yang lain.
Kiai Noer bukanlah contoh tunggal. Ada ratusan, bahkan mungkin ribuan, anak pesantren yang usai menyelesaikan pendidikan di lembaga tradisional itu “menyeberangi” sekat kultur dan geografis yang memisahkan mereka yang tinggal di desa dari alam perkotaan dengan cara pindah atau merantau ke kota-kota.
Kiai Noer memulai pendidikannya di pesantren tradisional Jawa Timur. Ia kemudian melanjutkan sekolah ke Jakarta dan mengembangkan pondok pesantren di kota besar dengan karakter budaya yang berbeda dengan kultur dasarnya.
Yang unik dari tokoh ini adalah mendirikan sebuah pesantren seperti dalam tradisi “intelektualisasi” santri-santri Jawa. Artinya, tidak saja berhadapan dengan publik atau audiens yang seluruhnya abstrak dan anonim, tetapi juga suatu publik yang kongkret, yaitu para santrinya sendiri.
Kondisi inilah yang memperkuat Kiai Noer untuk tidak bergabung dengan pondok pesantren yang didirkan ayahnya, Kiai Iskandar, maupun di Pesantren Lirboyo kediri sebagai staf pengajar.
Kiai Noer merantau ke Jakarta untuk kuliah di Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran (PTIQ). Waktu yang dihabiskan di PTIQ membuat wawasan Kiai Noer terbuka luas, untuk memahami simbol-simbol Alquran lebih dari sekadar pemahaman ubudiyah.
Begitu banyak ajaran Alquran yang sampai kini belum tergali, dan tak akan pernah selesai tergali sampai kiamat. Maksudnya, bukan sekadar menggali atau mengkaji. Tapi esensi dan pemahamannya harus dikembalikan kepada langkah-langkah aktualisasi dalam kehidupan sehari-hari.
Tahun 1982, Kiai Noer bertemu jodohnya. Ia menikahi Siti Nur Jazilah, putri KH Mashudi, asal Tumpang, Malang, Jawa Timur. Nur Jazilah pernah memimpin pondok pesantren putri Cukir, Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.