Kanal Kosong
Oleh: Joko Intarto
Penuh pada awalnya. Lenyap satu per satu, diam-diam. Saya baru melihatnya tadi sore. Selepas magrib. Prime time-nya siaran TV.
Ternyata ada kanal yang sudah tidak menyiarkan konten. Bahkan station ID-nya pun hilang. Layar kosong melompong. Padahal pada hari peresmian sudah tayang program.
Sedang terjadi gangguan teknis? Bisa jadi. Transmisi data audio visual dari master control di pusat penyiaran terputus dengan multiplekser di pusat pemancar sangat mungkin terjadi.
Bisa juga hilangnya kanal itu karena alasan non teknis. Misalnya, kesepakatan kontrak sewa multiplekser antara pemilik konten dengan pengelola multiplekser belum terjadi.
Kontrak kanal itu aturan main baru dalam industri penyiaran TV digital. Harga sewanya ditetapkan pemerintah. Di Bandung (zona Jawa Barat), biaya sewa satu kanal kabarnya Rp 25 juta per bulan. Di Jakarta (Zona Jabodetabek) pasti lebih mahal. Tapi saya belum tahu harga barunya.
Kemungkinan lain: Penyewa kanal belum benar-benar siap untuk bersiaran komersial secara penuh. Siaran pada hari pertama digital switch on 3 November 2022 kemungkinan masih berstatus ujicoba teknik.
Tahapan sampai bisa bersiaran komersial memang tidak bisa dadakan seperti menggoreng tahu bulat. Prosesnya panjang. Berdasarkan pengalaman 7 tahun mengelola TV analog (2007 - 2014), setup stasiun TV baru hingga komersial memerlukan waktu kurang lebih 6 bulan.
Instalasi peralatan dan teknologi broadcast memang bisa selesai dalam satu bulan. Tetapi menyiapkan sumber daya manusianya lebih sulit dan lama. Padahal, merekalah ujung tombaknya dalam produksi konten dan pemasaran program.
Siaran TV dengan durasi 6 jam saja, memerlukan sekurang-kurangnya 10 program dengan durasi antara 30 menit hingga 60 menit per program. Agar konten siaran aman, diperlukan stok konten rekaman paling tidak untuk masa tayang 1 bulan ke depan. Makin banyak stoknya makin bagus.
Menyiapkan stok konten inilah yang sering jadi masalah. Khususnya di stasiun TV baru. Apalagi kalau jumlah SDM-nya terbatas. Bisa-bisa produksi konten baru tidak sinkron dengan kebutuhan tayang. Stok konten bakal habis lebih cepat.
Melihat tayangan tadi sore, saya berandai-andai: Jasa rumah produksi video akan kembali menggeliat. Kanal TV digital makin banyak. Bisa 144 kanal di setiap zona. Semua butuh konten.
Jagaters tentu saja sangat siap untuk switching dari penyedia jasa siaran langsung menjadi rumah produksi. Pada awal kehadirannya tahun 2010, produksi video berita dan kuiz adalah core business Jagaters.
Masalahnya, apakah pemilik kanal siap berinvestasi dengan membeli konten baru? Apalagi kalau pemilik kanal itu tidak punya latar belakang bisnis media. Umumnya akan menganggap proses produksi konten seperti pabrik roti.
Padahal, bahan baku konten itu unik. Sama-sama berdurasi 30 menit, ongkos produksi setiap episode bisa berselisih jauh. Waktu produksi setiap konten bisa berselisih hari, bahkan minggu.
Saya termasuk pemilik kanal TV digital yang tidak siap. Sepuluh tahun lalu, saya mengajukan izin stasiun TV digital di Jabodetabek dengan nama Mega TV. Singkata Megapolitan TV.
Rekomendasi paling awal: Rekomendasi kelayakan (RK) sudah diperoleh. Rekomendasi ini menjadi dasar pengurusan izin selanjutnya. Masih beberapa tahap lagi.
Saya menyerah. Proses pengajuan izin Mega TV mandek di tengah jalan. Tahun 2014 - 2016 adalah tahun-tahun tersulit bagi Jagaters.
Jangankan mau meneruskan perizinan TV digital. Untuk membayar gaji karyawan saja hampir tidak sanggup.
Ternyata benar kata Pak Dahlan Iskan. Mengelola media itu sama dengan memelihara monster yang harus diberi makan setiap hari. Tidak peduli dari mana duitnya. Begitu tidak ada makanan, kita yang dimakan.