Kamuflase Pahit Kopi
Jabang bayik... ini kopi kok muanis tenan. Yang jual padahal sudah manis lho, kenapa kopinya masih dikasih gula seperti tak terukur begini.
Jangan-jangan memang sengaja dimanis-manisin agar selalu terngiang diingatan kalau kopi di kedai satu ini penyeduhnya memang manis.
Jabang bayik, baru sadar, kalau begitu mbak-e penyeduh ini sudah sadar cara bermarketing. Jualan manis. Tidak peduli kopinya jadi kemanisan.
Kopinya jadi serasa gula, bukan serasa kopi. Kopinya jadi serasa mbak-e yang kalau dilihat lekat-lekat memang manis. Manis bukan dilihat dari sedotan, tapi manis dilihat dari enggok-enggokan di sebelah prapatan. Jabang bayik.
Huss! Kok jabang bayi terus sih. Itu kosakata malati lho. Setidaknya begitu kata simbah Tumi di ujung Desa Blitar sana. Kata Mbah Mie itu, "Ucapkan kata itu ngger kalau pas melihat segala sesuatu yang tidak baik di depan mata. Agar, yang ndak baik itu, tidak menurun pada anak-anakmu."
Lhah, apakah minum kopi manis itu salah mbah?, tanya awak-e saya dalam imajinasi mengingat simbah Tumi sudah agak lama meninggal dunia. Dalam imajinasi pula, seperti terngiang, simbah Mie menjawab, ya ndak salah nggerrr. Minum kopi kalau kepahitan, sementara orang yang minum kopi tidak suka pahit, ya mesti ditaruh gula. Kamuflase untuk rasa pahit namanya. Padahal, sebenarnya, itu kopi tetap pahit. Apalagi kopinya kopi gempo.
Tahu kopi gempo? Kopi gempo itu kopine segenggam jagungnya sak tompo. Perbandingan tidak masuk akal saat menggoreng kopi.
Makanya kopi biasanya puahit. Puahit sampe ujung jantung ngger. Ajak dia tersenyum setelah minum kopi, lihatlah, di giginya akan nempel nylilit hitam-hitam jagung karena kebesaran ayakannya.
Jabang bayik... ini kopi gaya ndeso ngger. Silakan kalau ditiru, atau dicoba. Tapi kalau simbah ini kopi macam begituan kurang asyik. Hanya kerasa pahitnya, Kopi hanya semribit lewat seperti angin sepoi-sepoi. Atau, serasa ada angin mbrobos lewat kathok bolong. Jabang bayik... Itu namanya sedang ngentut ngger. Husss, saru!
Nah, soal gula tadi, soal manis tadi, soal kemanisan tadi, akan menjadi tidak baik kalau si peminum kopi penderita diabetes. Apalagi kalau dia sedang bolong-bolong gigi, pasti mak nyeng kalau kena muanis.
Akan menjadi tidak baik lagi kalau gula sedang mahal. Gula sedang berganti harga. Pasti itu akan membuat warung cepat kukut. Kedai cepat bangkrut.
Kalau kukut, kalau bangkrut, mbak-e yang seduh kopi tadi kehilangan manisnya. Sebab dia akan mecucu terus, karena kehilangan pekerjaan, karena kehilangan pendapatan.
Kalau begitu, kopi dan ngopi itu sebaiknya yang sehat saja. Gula sedikit kalau masih butuh gula. Atau, tanpa gula kalau ingin merasakan taste kopi yang sebenarnya. Inilah asyik kopi.
Inilah asyiknya ngopi sehat. Kalau sudah sehat dengan kopi, memandang mbak-e yang manis tadi tentu juga makin merasa asyik bersanding dengannya. Husss! widikamidi