Kampungan, Kedai Kopi Keren di Jantung Kampung
Dulu pernah ada tagline politik untuk membangun rindu. Tagline itu sukses. Malah, suksesnya sundul langit. Sundul langit ini ungkapan Jawa. Sebuah ungkapan yang bercitarasa menyangatkan. Jadi sundul langit itu adalah sukses yang sangat mentok. Notok.
Yang punya tagline kemudian jadi Gubernur Jawa Tengah. Satu periode lamanya. Berpasangan dengan orang yang saya kenal, Rustriningsih. Menjadi wakil gubernurnya.
Namanya Bibit Waluyo. Seorang Letnan Jenderal purnawirawan. Orang Klaten. Orang Jimus. Sangat pinggiran. Di Kabupaten Klaten itu.Tagline politik itu berbunyi: Mulih Desa, Mbangun Desa.
Bibit tidak bilang mulih kampung. Tapi bilang desa. Sebab desa memiliki asosiasi lebih besar ketimbang kampung. Desa lebih umum digunakan ketimbang kampung. Padahal, sejatinya, keduanya adalah sinonim. Di Lampung dan beberapa kota di Indonesia menggunakan identitas kampung untuk menyebut desa.
Mari kita tinggalkan Bibit Waluyo. Yang bilang desa itu. Kita beralih saja ke Andra. Bukan Andra n The Blackbone yang musikus dan grup musik itu. Tapi Tri Andra Oktavian, yang "tukang" menyeduh kopi. Dia tidak menyebut desa, tapi kampung. Andra ini malah lebih seru, menyebutnya malah Kampungan.
Apakah ini tagline politik Andra? Ingin menjadi seperti Jendral (purn) Bibit Waluyo yang kemudian jadi Gubernur Jawa Tengah itu? Entahlah! Jangan-jangan kelak Andra memang jadi gubernur. Siapa tahu to.
Yang jelas begini, kalau ada orang mencari Andra dan Kampungannya itu, orang dengan kelewat pede dan mudahnya menunjuk tangan: "Oh... ada di sana. Kimia Farma Banyu Urip, sebelahnya ada gang. Masuk saja mentok, ketemu poskamling, lalu menggok kanan lima langkah. Nah Kampungan ada di situ."
Kopi tentu beda dengan politik. Tapi, aslinya, keduanya acapkali bisa "bekerjasama". Acap kali juga runtang-runtung tak tentu arah. Kadang juga, kalau terlalu dekat, jadinya tukaran ndak jelas.
Kampungan yang diciptakan Andra, sadar atau tidak, sebenarnya, masuknya ranah politik. Ekonomi politik persisnya. Tanpa ini, Kedai Kopi Kampungan, akan lama dikenal publik. Dikenal para pecinta kopi. Disambangi para barista-barista muda yang ikonik di dunia kopi serius.
Kampungan, nama ini, tentu sudah sangat diperhitungkan Andra. Bahwa, kampungan, dengan aksen dan intonasi tertentu, seringkali ditafsirkan, sebagai sebuah nada ejekan. Dimaksudkan untuk menjatuhkan. Dan seterusnya. Dalam berbagai tayangan dan dialog sinetron, malah lebih parah. Kampungan seringkali disinonimkan dengan orang udik banget, tidak berpendidikan, susah mikir, karena itu tak pantas didekati, dan sebagainya.
Bibit Waluyo, yang gubernur itu, merasa sedap dengan kata desa. Padahal kalau pakai bahasa kampung rasanya akan lebih hangat: Mulih Kampung Mbangun Desa. Rasanya lebih menukik. Dengan ini mungkin dia malah bisa jadi Gubernur dua kali. Sayangnya, Mulih Desa, hanya mampu bertaji satu kali.
Andainya Bibit pakai Kampungan, dia rasanya juga takut akan disebut Gubernur Kampungan. Atau lebih takut lagi dibilang Jenderal Kampungan. Kan tidak keren Jhon...
Andra n The Backbone, eh salah, maksudnya Andra Tri Oktavian dengan Kedai Kampungannya ini justru menang banyak. Mengena banget di tengah menjamurnya kedai kopi yang tidak memperhitungkan sasaran marketnya.
Betul-betul di berada di jantung kampung, Kampung Banyu Urip, Kampungan tak segan memainkan seduhan V60, Espresso, kopi arabika, dan seterusnya. Padahal, umumnya, di tengah kampung suroboyoan begitu, maraknya adalah warkop dengan unggulan kopi-kopi saset dan kopi hitam.
Warga kampung pun seperti menemukan hal baru. Biasanya di warkop dengan pesanan menu kopi sembarang, kini bisa menyebut satu persatu identitas kopinya: kopi Trawas tubruk ya. Espresso dengan es ya. Kopi Manglayang ya, pakai V60 jangan tebal-tebal. Cukup seduh smot saja biar tidur enak. Robusta punya apa?
"Oh ada kopi Sendang Tulungagung, mau? Ini oleh-oleh saya dari ikut kompetisi di Limang Coffee Tulungagung. (widikamidi)