Kampung Tempe Pasuruan yang Melegenda
Kabupaten Pasuruan salah satu sentra tempe di Jawa Timur. Lebih dari 200 KK di kecamatan Bangil, Purwodadi, dan Sukorejo merupakan pembuat tempe.
Tempe yang mereka buat ini tempe yang berkualitas. Rasanya gurih dan lezat tanpa ada rasa kecut (asam) maupun pahit yang kerapkali ditemukan di pasar-pasar tradisional maupun pasar modern pada umumnya.
Endang Martiningsih, 67 tahun, salah satu pembuat tempe warga RT 03 RW 03, Lingkungan Ketanen, Kelurahan Gempeng, Kecamatan Bangil mengaku, usaha membuat tempe sudah dimulai sejak tahun 1970. Bermula saat sang suami dipecat dari perusahaan, akhirnya ia mencoba merintis usaha membuat tempe sekaligus menjual sendiri.
"Kasihan lihat suami gak kerja. Jadi, saya putuskan untuk membuat tempe. Alhamdulillah, ternyata banyak yang suka," katanya.
Endang mengaku berjuang dari nol. Tempe dibuat sendiri dan dijual sendiri setiap tanpa putus asa. Satu persatu masyarakat sekitar mulai suka dengan tempenya. Hingga akhirnya pelanggannya mencapai puluhan.
"Kualitas benar-benar menjadi yang bagi saya, karena kedelai yang digunakan merupakan kedelai dengan kualitas bagus tanpa campuran biji-bijinya. Kadang orang membuat tempe dicampur dengan biji jagung, kacang hijau, dan biji-bijian lainnya," katanya.
Kata Endang, tempe yang dibuat mengedepankan kebersihan dan higienis. Sehingga bahan kedelainya harus benar-benar bersih dan tanpa campuran biji-biji lainnya. "Kebersihan adalah nomor satu, supaya tempenya enak," katanya.
Kebersihan yang dimaksud adalah proses keseluruhan dalam membuat tempe. Kata Endang, ketika merebus tempe harus menggunakan air bersih sekali pakai. Prosentase air bersih dengan air sisa rebusan adalah 90 dibanding 10 persen.
Endang mengaku bisa membuat tempe sebanyak 1-3 kwintal kedelai dalam sehari. Tempe buatannya dijual murah mulai harga Rp 1000 hingga Rp 40.000.
"Kalau yang Rp40 ribu itu satu lembar tempe ukuran 30 x 40 sentimeter. Kalau yang Rp 1000 ya kecil. Sesuai kebutuhan masing-masing individu," katanya.
Kini, usahanya juga diteruskan oleh anaknya, Farida (50) yang juga sukses meneruskan jejak orang tuanya. Kata Farida, dulu tempe dikenal sebagai makanan rakyat alias makanan kelas bawah. Namun kini, semakin banyak orang yang menyukai tempe, termasuk kaum vegetarian yang banyak membeli tempe kepadanya.
"Saya hanya menjual di Pasar Bangil dan di rumah saja. Itu pun sudah kewalahan, karena banyak sekali yang membeli tempe kami. Mereka kebanyakan penjual sayuran yang keliling maupun toko kelontong di rumah," katanya. (sumber: www.pasuruankab.go.id)
Advertisement