Kampung Sidosermo, Sebuah Peradaban di Surabaya Yang Masih Eksis
Jakarta, dengan statusnya sebagai ibukota negara, selanjutnya disebut Daerah Khusus Ibukota (DKI). Pun demikian dengan Jogjakarta, dengan eksistensi keraton dan kehidupan keluarga keraton (kerajaan Mataram), maka daerah ini disebut Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Hal yang sama, kebijakan administratif, seharusnya bisa juga diterapkan di sebuah kampung di Surabaya, yang memiliki sejumlah keistimewaan. Yakni kampung Sidosermo di kecamatan Wonokromo, Surabaya.
Sidosermo yang awalnya dari kampung bernama Ndresmo dikenal dengan kampung pondok pesantren. Ndresmo adalah kependekan dari "sing nderes wong limo" (yang membaca Al-quran sebanyak lima orang santri). Dari kata itulah kemudian berubah menjadi sidosermo.
Nderes, yang berarti membaca Al Quran, memberi warna berjalannya kehidupan dan kegiatan pondok pesantren yang jumlahnya lumayan banyak. Kampung Sidosermo adalah satu satunya kampung yang memiliki banyak pondok pesantren di Surabaya. Tidak kurang dari 30 pondok pesantren ada di kampung pondok pesantren Sidosermo. Selain menempati bangunan yang sengaja dirancang sebagai pondok, kegiatan nyantri di Sidosermo ini juga bertempat di rumah-rumah warga.
Semua pimpinan pondok di Sidosermo ini terhitung bertalian keluarga, yang semuanya berasal dari Assayid Ali Akbar yang makamnya ada di pemakaman keluarga di Sidosermo gang Kuburan. Assayid Ali Akbar adalah Habaib, yang artinya adalah keturunan Nabi Muhammad SAW. Ia adalah keturunan ke 28. Pemerintah kota Surabaya memberi status Cagar Budaya pada komplek pemakaman Assayid Ali Akbar. Status ini terlihat pada plakard yang ditempel di tembok gerbang masuk ke komplek makam.
Selain terdapat banyak pondok pesantren di kampung Sidosermo, warganya bertitel “Mas”. Title “Mas” ini bukanlah sebutan untuk orang laki-laki Jawa, tetapi titel untuk mereka yang menjadi keturunan mbah Sulaiman, seorang santri dari pondok pesantren Ngampel Dento dibawah asuhan Raden Rahmad atau Sunan Ampel.
Menurut K.H. Mas Ahmad Nasrohuddin, pimpinan Majelis Syabab An Nabawi, ketika mbah Sulaiman masih nyantri di Ampel Dento dan pada suatu malam Sunan Ampel mendatangi dan mengecek para santrinya, maka di tengah kegelaman malam, Sunan Ampel melihat di salah satu santrinya terdapat sinar yang seolah seperti bendereng keemasan.
Karena tidak bisa mengenali siapa santrinya itu, maka sarungnya diikat sebagai identitas. Setelah sholat subuh, kanjeng Sunan Ampel bertanya kepada para santrinya. Siapakah dia yang sarungnya terdapat ikatan. Kemudian Sulaiman menjawab bahwa dirinyalah yang sarungnya terdapat ikatan.
Di hadapan para santrinya , kanjeng Sunan Ampel mengatakan bahwa di depan nama Sulaiman pantas diberi kata sandang “Mas”, yang berarti “emas” karena sinar keemasan yang menyala tat kala Sulaiman tidur. Tidak hanya Sulaiman, semua anak turun Sulaiman berhak atas titel “Mas” di depan namanya seperti K.H. Mas Ahmad Nasrohuddin.
Kini Sidosermo, Ndresmo, tidak lagi kampung yang kecil, tapi sudah meluas dan bertumbuh menjadi perkampungan yang dihuni oleh banyak orang. Namun untuk mengidentifikasi kampung lamanya, di tengah tengah perkampungan ini teridentifikasi dengan nama Sidosermo Dalam.
Di kawasan kampung Sidosermo Dalam inilah masih terdapat rumah rumah kuno termasuk langgar hingga masjid. Salah satu diantaranya adalah sebuah bangunan bertingkat dua yang di bagian atasnya merupakan mushollah dan di bagian bawah adalah kamar kamar santri beserta kamar mandi kuno serta serambi yang semuanya berada di dalam gedung.
Konon, mereka yang tinggal di area Sidosermo Dalam ini terbebas dari bayar pajak. Kebiasaan ini terjadi sejak kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang memberi mereka berbagai fasilitas perumahan dan peribadatan, termasuk membebaskan mereka dari kewajiban membayar pajak. Seiring dengan berjalannya waktu dan perubahan jaman, kebijakan bebas bayar pajak ini ternyata masih berlangsung hingga sekarang. Meski pemerintahan telah berubah, dari pemerintahan kolonial ke pemerintahan Indonesia. Apapun yang terjadi, ini adalah sesuatu yang istimewa yang ada di kampung Sidoresmo.
Kekunoan secara arsitektur juga menjadi kekayaan peradaban Ndresmo. Ada masjid besar Ali Akbar dimana di serambi masjidnya masih terdapat jam matahari yang biasa secara tradisional dinamakan jam bencet. Jam bencet adalah jam tradisional manual yang mengandalkan sinar matahari yang sinarnya jatuh pada pendulum yang menghasilkan bayangan untuk menentukan saat saat datangnya waktu sholat, khususnya dhuhur, ashar dan mahgrib.
Selain masjid besar juga ada bangunan masjid yang lebih kecil lengkap dengan fasilitas kamar kamar untuk penginapan para santri. Bangunan ini berlantai dua. Lantai atas untuk sholat dan sedangkan lantai bawah digunakan untuk penginapan santri. Jumlah kamar tidak banyak, hanya tiga kamar serta terdapat sumur dan bak mandi besar terbuat dari bata-semen. Usia bangunan ini diperkirakan sudah lebih dari 150 tahun. Perkiraan ini didasarkan pada model dan langgam bangunan.
Dengan keistimewaan sebagaimana diurai di atas, maka layak sekali kampung Sidosermo ini disebut sebagai Kampung Istimewa Sidosermo (KIS). Atas keistimewaan itu, kampung ini layak menambah khasanah daerah tujuan wisata di kota Surabaya. Kampung Istimewa Sidosermo menyajikan sejarah peradaban Islam di Surabaya selain kawasan Sunan Ampel.