Kampanye Pornografi Barat
Dampak Perang Peradaban:
Episode II
Gambar, foto dan film pornografi dan sejenisnya setiap saat tersaji di internet, HP, facebook, istagram, film dan sebagainya. Sekilas tampak sebagai bagian dari proses pertukaran budaya antarperadaban secara alami. Namun kalau memperhatikan dekadensi moral yang terjadi di tanah air akhir-akhir ini khususnya yang terkait dengan perilaku asusila secara beruntun, misalnya pelecehan seksual wanita dewasa terhadap anak-anak belum lama berselang, maka saya mencurigai sebagai bagian dari konflik peradaban.
Sesuai kelanjutan dari doktrin “White man’s burdan” (beban dan tugas bangsa kulit putih untuk mendominasi dunia) maka bangsa Barat setelah tidak lagi bisa mengkolonisasi bangsa-bangsa Timur sejak berakhirnya PD II, maka mereka mengubah strategi. Dalam hal ini berusaha mempengaruhi “pola pikir” bangsa Timur melalui proses liberalisasi sosial, liberalisasi ekonomi dan liberalisasi politik.
Penyebarluasan pornografi terutama ditujukan kepada generasi muda yang masih dalam tahap proses pencarian identitas dan pembentukan pola pikir. Secara tidak langsung melalui film atau adegan pornografi akan tersebar secara halus nilai kebebasan ala Barat. Proses ini disebut sebagai proses “liberalisasi sosial".
Budaya Spiritual
Dalam proses liberalisasi sosial dimasukkan unsur “budaya spiritual”. Adegan film yang kita saksikan adalah bagian unsur “budaya materiil". Di balik adegan pornografi tersebut tersirat ekspresi “kebebasan” yang merupakan unsur “budaya spiritual”. Secara halus ditanamkan nilai individualisme, sekularisme dan materialisme di kalangan generasi muda.
Tentu saja bagi bangsa Indonesia mempertontonkan adegan seksual secara fulgar bertentangan dengan nilai budaya atau asusila. Bahkan bagi umat Islam yang merupakan mayoritas, adegan pornografi merupakan suatu hal yang diharamkan. Selain karena membuka aurat, pernikahan merupakan hal yang sakral dan bagian dari Maqasid al Syar’i (tujuan utama Syariat) guna memelihara kemurnian garis keturunan dan akhlak mulia.
Di sinilah berlangsung pertarungan sengit atau konflik antara nilai internal melawan serbuan nilai budaya eksternal. Barangkali belum seluruh warga bangsa ini menyadari apa yang sedang terjadi di balik ramainya hiruk pikuk medsos dan sejenisnya. Kalau pemerintah dan masyarakat abai, maka secara perlahan dan pasti akan terjadi perubahan identitas atau kepribadian bangsa Indonesia.
Dalam era globalisasi teknologi informasi, kita tidak mungkin mencegah arus lalu lintas berita atau perang propaganda melalui medsos dan media komunikasi lainnya. Oleh karena itu pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia tidak boleh berdiam diri dan sebaliknya harus waspada, kalau tidak ingin bangsa ini hancur berantakan.
Para pendiri bangsa telah mewariskan Pancasila sebagai dasar dan ideologi bangsa yang sangat kuat. Dubes Amerika Serikat di Indonesia pada era Presiden Abdurahman Wahid, Paul Wolfowitch mengatakan kepada saya bahwa selain kaya Sumber Daya Alam dan jumlah penduduk besar serta multi budaya, Indonesia punya kekuatan dahsyat yaitu Pancasila. Warisan leluhur inilah yang layak menjadi “rujukan strategi” untuk mengantisipasi meruncingnya konflik peradaban sekarang ini.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial-Politik, Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Penulis buku "Perjalanan Intelijen Santri" (2021).