Kampanye Penanganan Sampah dengan Ubah Perilaku Anak Sejak Dini
Kampanye pengelolaan dan pengolahan sampah terus dilakukan. Salah satunya dengan mengintegrasikan penanganan sampah berkelanjutan melalui program usaha kesehatan sekolah (UKS). Melalui cara ini dilakukan upaya mengubah perilaku anak untuk secara sadar mengelola sampah di sekolah.
Kegiatan ini dimotori Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (Stikes) Banyuwangi bersama Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Banyuwangi, Dinas Pendidikan Banyuwangi dan Banyuwangi Hijau. Sekolah diedukasi bagaimana mengubah perilaku anak terhadap penanganan sampah.
“Penanganan sampah itu harus dimulai sejak dini, mengubah perilaku mulai sekolah dari TK SD sampai SMA,” jelas Ketua Stikes Banyuwangi, Soekardjo, Selasa, 27 Juni 2023.
Dia menyebut, Stikes Banyuwangi bekerja sama dengan salah satu perusahaan dari Norwegia, telah membina 12 sekolah SD dan SMP di Banyuwangi berkaitan dengan pengelolaan sampah sejak dini. Pengelolaan sampah di 12 sekolah ini sudah berjalan sekitar dua tahun lalu.
Setelah 12 sekolah tersebut, saat ini sudah ada 20 sekolah lagi dari tingkat SD dan SMP yang akan dibina untuk pengelolaan sampah. Mereka diberikan ilmu dan sekaligus praktik pengelolaan dan pengolahan sampah. Karena di Stikes Banyuwangi sudah ada tempat pengelolaan dan pengolahan sampah. Menurutnya untuk pengelolaan sampah ini sebetulnya sangat mudah.
“Tergantung dari niat dan kemauan. Ini bagian dari pengabdian masyarakat dari kami perguruan tinggi untuk mengurangi sampah,” jelasnya.
Sebagai perguruan tinggi yang memiliki UKS, pihaknya ingin mengintegrasikan program pengelolaan sampah dengan UKS. Karena salah satu tugas dan fungsi UKS berkaitan dengan sampah. Konsepnya, guru diedukasi bagaimana muridnya mengelola sampah yang organik dan non organik.
Dia menyebut, Tim yang telah ditunjuk datang ke sekolahan untuk melakukan pendampingan guna mengubah perilaku anak-anak. Diharapkan mereka bisa mengajak orang tuanya dan orang yang ada lingkungannya.
Sampah, menurutnya, itu tidak harus dibuang tapi bisa dikelola. Salah-satunya untuk budidaya maggot. Di mana magot bisa untuk makanan ikan, dijual dan sebagiannya.
“Jadi bagaimana sampah itu menjadi bermanfaat dan bahkan memiliki nilai ekonomis,” tegasnya.
Prinsip dasarnya, semua sampah yang ada di sekolah harus keluar semua. Jika ada tempat pengelolaan sampah di sekolah radiusnya minimal 100 meter dari ruang belajar. Ini untuk mencegah bau, adanya lalat dan yang paling penting tidak terjadi penyebaran penyakit dari sampah.
“Beberapa sekolah sudah jalan, dibuat siswa sadar dulu, membuangnya sudah terpilah. Makanya harus ada tempat sampah terpilah dari sekolah,” tegasnya.
Sementara itu, Dinas Lingkungan Hidup Banyuwangi mendorong program pengelolaan dan pengolahan sampah ini dengan program sekolah Adi Wiyata. Program ini mengajak bagaimana sekolah itu peduli pada lingkungan.
“Di antaranya adalah pendampingan terhadap pengelolaan sampah menjadi indikator penilaian sekolah Adi Wiyata,” jelas Kepala UPT Pengelolaan Persampahan DLH Banyuwangi, Amrulloh.
Sejauh ini baru 15 persen dari sekolah yang ada yang sudah menjadi sekolah Adi Wiyata. Diharapkan dengan pelatihan yang dilakukan bisa memunculkan sekolah-sekolah untuk lebih aktif ikut program Sekolah Adi Wiyata.
Tidak hanya itu, ada juga program Banyuwangi Hijau yang merupakan program kolaboratif dengan melibatkan berbagai pihak termasuk pemda. Melalui program ini sekolah diajarkan bagaimana memadukan pengolahan sampah secara komprehensif.
“Mulai sistemnya sampai infrastrukturnya disediakan,” pungkasnya.