KAMMI Menguasai Masjid-masjid Kampus? Ini Alasannya
Pengantar Redaksi:
KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) adalah sebuah organisasi mahasiswa Muslim yang lahir di era reformasi yaitu tepatnya pada 29 Maret 1998 di Malang. Anggotanya tersebar di hampir seluruh PTN di Indonesia. Saat ini, kader KAMMI sudah mampu menjadi pemimpin kampus (Ketua BEM) hampir di 300 kampus. Inilah yang jadi penguat Partai Keadilan (PK) yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
KAMMI lahir dari momentum Forum Silahturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FS-LDK) X se-Indonesia yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Acara ini dihadiri 59 LDK yang berafiliasi dari 63 kampus (PTN-PTS) di seluruh Indonesia. Jumlah peserta keseluruhan kurang lebih 200 orang yang notabenenya para aktivis dakwah kampus.
Kini, gerakan KAMMI lebih difokuskan untuk menguasai masjid-masjid kampus. Untuk memperdalam masalah ini, ngopibareng.id, menghadirkan telaah Jarot Doso. Naskah berikut semula berjudul “Mengapa KAMMI menguasai masjid-masjid Kampus?”. Berikut lengkapnya:
Suatu hari ada seorang yunior aktivis HMI UGM dengan semangat 45 komplain ke saya. Katanya, “Bang mengapa masjid dan mushola-mushola kampus di UGM dan PTN lain banyak yang dikuasai KAMMI?”
Saya yang alumni HMI dan pada saat ditanya itu masih aktif di KAMMI pun menjawab agak ketus ke yunior HMI tadi.
“Lha kalian itu, juga anak-anak PMII, apalagi GMNI, jarang kan shalat berjamaah di masjid atau mushola kampus? Bagaimana bisa menguasai masjid dan mushola kampus jika menginjakkan kaki di situ saja jarang? Anak-anak KAMMI itu rutin sholat berjamaah ke mushola atau masjid kampus saat mereka sedang di kampus. Wajar jika akhirnya mereka yang menguasai mushola dan masjid kampus,” kata saya.
"Mereka lupa bahwa para Banser GP Ansor NU yang rajin berteriak “NKRI Harga Mati” dan “Pancasila Jaya” itu mendasarkan kecintaannya atas Tanah Air dari iman Islamnya yang mendalam: hubbul wathon minal iman, cinta tanah air sebagian dari iman."
Anak HMI yunior yang usianya jauh di bawah saya itu pun hanya bersungut-sungut dan tertawa ngakak.
Saya tak bermaksud membela KAMMI saat menjawab pertanyaan kader HMI tadi. Tapi fakta lapangannya, sejauh saya amati, secara obyektif memang begitu. Bisa jadi karena secara historis KAMMI dibentuk oleh para pegiat Lembaga Dakwah Kampus (LDK), maka otomatis untuk jangka waktu yang lama pun mereka menguasai mushola dan masjid kampus.
Para mahasiswa aktivis HMI dan PMII lebih tertarik diskusi berjamaah ihwal ide-ide pembaharuan pemikiran Islamnya Cak Nur atau Gus Dur dan seterusnya daripada melaksanakan ritual berjamaah di masjid atau mushola kampus. Ibadah, baik yang wajib maupun sunah, bagi mereka ibarat domain privat masing-masing individu yang tak harus menjadi wacana bersama atau kegiatan kolektif (baca: berjamaah).
Sementara anak-anak GMNI --saya juga pernah berada di dalamnya-- lebih berminat mencurigai setiap gerakan mahasiswa Islam sehingga seakan-akan nasionalisme itu identik dengan sikap permusuhan terhadap kegiatan yang bernuansa relijius. Mereka lupa bahwa para Banser GP Ansor NU yang rajin berteriak “NKRI Harga Mati” dan “Pancasila Jaya” itu mendasarkan kecintaannya atas Tanah Air dari iman Islamnya yang mendalam: hubbul wathon minal iman, cinta tanah air sebagian dari iman.
Di sisi lain, anak-anak KAMMI punya etos ibadah yang ketat. Tiap sholat wajib lima waktu sebisa mungkin akan mereka lakukan secara berjamaah di masjid. Bahkan untuk urusan sholat malam (qiyamul lail) yang levelnya sunah pun acap mereka lakukan berjamaah dalam paket mabit (malam bina iman dan takwa) di masjid. Kalaupun tidak berjamaah, mereka akan saling membangunkan rekan-rekannya melalui handphone untuk menunaikan sholat tahajud di sepertiga malam terakhir.
Tak hanya sholat, dalam urusan puasa sunah Senin-Kamis pun mereka saling mengingatkan. Kebiasaan saling mengingatkan ini menjadi semacam kontrol sosial bagi mereka yang tidak taat. Saya, misalnya, saat tidak menunaikan puasa Senin-Kamis terpaksa main petak umpet dengan anak-anak KAMMI lainnya, karena malu jika ketahuan tidak “nyunah”.
Lha wong saya pas masuk KAMMI itu sudah S2, masak kalah dengan anak-anak yang baru mulai kuliah S1 dalam melaksanakan puasa sunah Senin-Kamis? Maka saya pun harus sembunyi-sembunyi jika pas hari Senin atau Kamis makan di warung dekat kos. Sekali dua kali ketahuan yunior KAMMI, biasanya mereka akan bertanya dengan nada heran, “Antum tidak puasa sunah, Pak?” Teguran halus tapi rasanya seperti menampar wajah.
Kenapa bisa begitu? Bisa saja. Karena bagi ikhwan dan akhwat KAMMI berlaku semacam adagium bahwa yang sunah itu seperti wajib dan yang makruh itu seolah-olah haram. Walhasil, pelaksanaan ibadah sunah pun menjadi seperti wajib hukumnya dan meninggalkan yang makruh menjadi seperti menjauhi barang haram.
Terkait yang makruh tadi, itulah kenapa tak ada anak-anak KAMMI yang merokok, karena rokok itu hukumnya makruh. Dan makruh itu bagi mereka seperti haram hukumnya sehingga wajib ditinggalkan. Tidak boleh tidak!
Saya sendiri terus terang waktu di KAMMI juga memaksa diri sendiri untuk berhenti merokok, meski hanya bertahan sekitar 6 bulan. Padahal saya bergabung dengan KAMMI sekitar 2 tahun lamanya. Terus sisanya? Ya tentu saja saya melanggar. Bughot, berontak, ngeyel, dengan tetap merokok sembunyi-sembunyi.
Sebetulnya saya sih biasa saja berhenti merokok. Artinya tidak lalu stres karena ketagihan atau terasa asam (Jawa: kecut) di mulut saya dsb. Tidak. Cuma repotnya pas saya ngeteh di warung hik atau ngopi di kamar kos, keinginan merokok itu muncul kembali.
Maka, saran saya, bagi antum yang ingin berhenti merokok, hindarilah menikmati kopi dan teh panas. Sebisa mungkin hanya minum air putih dingin, insya Allah tak akan merasakan enaknya merokok. Sayangnya, saya gagal melupakan harumnya aroma kopi dan teh panas. Ya akhirnya sulit berpisah dengan rokok lagi.
Disebabkan hobi ngopi yang butuh ditemani rokok itulah yang kemudian membuat saya enggan tinggal di kos atau kontrakan bersama anak-anak KAMMI. Hanya sesekali saja saya begadang atau tidur di kantor KAMMI DIY.
Selebihnya saya justru tinggal bersama Ali Formen, sahabat saya yang saat itu menjabat sekretaris umum PMII Cabang Sleman, DIY. Saya tinggal di kompleks Masjid Uswatun Hasanah, Jalan Kaliurang, Yogyakarta, yang beraliran NU bersama Ali Formen.
Di sinilah saya bisa menjalani “takdir” saya sebagai kader KAMMI yang rutin sholat berjamaah dan menjadi tukang azan masjid tapi sekaligus juga menjadi “ahli hisap” alias perokok. Tahu sendirilah, di mana ada PMII, Ansor, Banser, atau NU, maka di situlah ada kopi dan rokok hehehe…[]
Jakarta 11/11/2018