Kamas Setyoadi, Pemimpin Kompi Black Cat yang Ditakuti Belanda
Kapten Kamas Setyoadi adalah seorang pejuang asal Mojokerto yang lahir di Desa Sambiroto pada 20 September 1928. Dia adalah pemimpin kompi atau pasukan Black Cat yang sangat ditakuti Belanda.
Para pejuang dulu memang begitu perkasa dan berani mati dalam memperjuangkan kemerdekaan. Hal itulah yang membuat para penjajah takjub dan segan terhadap para pejuang. Mereka tidak hanya punya nyali tetapi juga memiliki kesaktian.
Kisah hidup Kamas Setyoadi sangat sederhana bahkan menderita. Walaupun demikian, dia tetap gigih berjuang untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia di wilayah Mojokerto dari penjajahan kolonial Belanda.
Sebelum Indonesia merdeka dan dirinya belum terjun menjadi pejuang melawan penjajah, kala masih muda dirinya sempat menjadi anak buah kapal (ABK) perang Eskadron Singapura. Saat itu, Indonesia masih dijajah Jepang.
"Bapak umur 17 tahun ke singapura, pendidikan militernya tidak ada, cuman dulu direkrut sebagai penyelam di Singapura," tutur Sri Hastuti, anak nomor dua Kamas Setyoadi saat ditemui di kediamannya, Sabtu 15 Oktober 2022.
Baru setelah Indonesia merdeka tahun 1945, Kamas Setyoadi pulang ke Mojokerto. Sepulang dari Singapura dia memutuskan untuk bergabung menjadi bagian dari pejuang dan berperang melawan Belanda.
Bergerilya untuk mengusir Belanda dari hari ke hari dilakoni Kamas bersama pasukannya dan masyarakat setempat. Kiprahnya dalam medan peperangan semakin terlihat ketika dia dipercaya Panglima Divisi I Kolonel Sungkono membentuk kompi lepas.
Dalam catatan yang ditulis Kamas Setyoadi sendiri, perintah pembentukan kompi tersebut terjadi sebelum penyerahan kedaulatan yang terjadi pada 27 Desember 1949. Yakni, pada saat Belanda melakukan Agresi Militer ke-2 pada tahun 1948.
Kompi yang dipimpin Kamas Setyoadi itu ditetapkan menjadi kompi 48 Divisi I yang beroperasi di sekitar Mojokerto. Untuk memperkuat pasukannya, Kamas tidak hanya mengambil dari tentara, ia juga melibatkan pelajar dan masyarakat. Di bawah kendalinya, kompi ini diberi nama Black Cat (kucing hitam).
"Medannya bapak itu hanya sekitar sini saja, Sambiroto, Mojoagung, Trowulan, tidak kemana-mana," ujar Sri.
Pemimpin pasukan Black Cat ini sangat disegani dan ditakuti lawan-lawannya karena memiliki kesaktian dan licin. Dipegang tidak bisa, apalagi ditangkap.
Sri Hastuti, pernah mendapat cerita langsung dari sosok Bapaknya itu. Jika Belanda pernah mengadakan sayembara barang siapa yang bisa menangkap Kamas Setyoadi akan diberi hadiah berupa uang satu karung.
"Tetap saja tidak ada yang bisa menangkap Bapak," katanya perempuan berusia 62 tahun itu sambil tertawa.
Dari cerita yang beredar, Belanda pernah marah besar pada Kamas karena menyabotase rel kereta api. Sabotase itu menyebabkan sebuah kereta api yang melaju dari Mojokerto ke Jombang terguling hingga menimbulkan korban nyawa.
"Bapak dicari , soalnya banyak yang meninggal. Pasukannya bapak itu kecil, tidak ada seratus, tapi ya gitu, takut Belanda. Tiba-tiba hilang, dicari tidak ada," ungkap Sri.
Selain itu, pernah pada suatu ketika pasukan Belanda berhasil mengepung Kamas di wilayah sekitar Desa Bicak dan menodongkan pistol di depan matanya. Namun pada saat tembakan dilepaskan, peluru tidak mengenai Kamas sedikit pun.
"Bapak cerita, ditembak di depan mata tapi meleset, padahal itu todong di depan mata sama belanda. Kata Bapak, matanya (pasukan) Belanda buram," beber Sri.
Pasca Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia, Kamas Setyoadi tetap menjadi prajurit TNI. Prajurit dengan NRP 16721 bertugas di kesatuan DBI VI/Jember. Ia dia sempat diberi amanat menjadi Komandan Batalion, sebelum akhirnya memilih pensiun dini pada tahun 1959.
Setelah pensiun, Kamas beralih profesi menjadi seorang pengusaha. Beberapa bidang usaha pernah ia lakoni, seperti bisnis kontraktor atau pemborong dengan mendirikan CV Hidayah dan Firma Kamas, dan pengusaha kebun jeruk.
Menurut Sri, berbagai usaha yang dijalani orang tuanya tidak mudah. Berkali-kali mengalami kerugian. Namun, Bapaknya tidak mudah untuk putus asa.
"Awal-awal usaha itu rugi-rugi terus, tapi bapak tetap bangkit terus. Tidak pernah mengeluh, putus asa. Cocoknya ya di usaha jeruk, awalnya ya tidak laku, akhirnya kok laku dan berkembang," terangnya.
Sayangnya, usaha jeruk yang dirintis Kamas dan istrinya Amanah, tidak dilanjutkan oleh anak-anaknya. Kini hanya tersisa lahannya seluas 5 hektar di wilayah Trowulan.
"Kebunnya masih ada tapi jeruknya sudah tidak ada. Sekarang ditanami tebu dan sudah dibagi kepada anak-anaknya untuk warisan," Sambung Sri.
Mendirikan Perguruan Pencak Silat
Disisi lain, Kamas juga mendirikan perguruan Pencak Silat Dalikumbang. Awal berdiri, ia mengajak dan melatih pemuda-pemuda Sambirito. Tempat latihannya berada di halaman rumahnya.
Dulu Kamas dan keluarganya bertempat tinggal di Desa Sambiroto. Rumahnya berada dipinggir jalan raya depan Sambiroto gang 8. Sejak tahun 1970 berpindah ke Brangkal, Kecamatan Sooko, Mojokerto.
Pencak silat yang berdiri awal 1960-an itu sampai saat ini masih eksis dan berkembang. Perguruan pencak Silat Dalikumbang ini menjadi satu-satunya perguruan pencak silat satu-satunya yang asli Mojokerto. Kamas juga sempat dipercaya menjadi Ketua IPSI Jawa Timur dan juga menduduki posisi Ketua KONI Kabupaten Mojokerto.
Saking cintanya terhadap pencak silat, kata Sri, jika mempunyai uang pasti diberikan kepada anak didiknya. Hal itu pernah membuat ibunya marah. Karena mengesampingkan kebutuhan keluarga.
"Kalau ada uang masuknya ke silat. Karena saking cintanya sama silat. Sampai-sampai ibu pernah marah gara-gara itu," katanya.
Kamas Setyoadi meninggal dunia pada 12 Oktober 1980. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Kamas berpesan agar tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Sehingga ia semayamkan di pemakaman umum Desa Kedungmaling, Kecamatan Sooko, Mojokerto.
"Soalnya kalau dimakam pahlawan anak-anak yang silat kalau mau berkunjung juga susah. Bapak itu tahu ke depannya, pasti anak-anak cari makamnya," terang Sri.
Sejak dia wafat, Pemerintah belum pernah memberikan tanda atau gelar pahlawan kepada Kamas Setyoadi. Meskipun demikian, pihak kelurahan tidak pernah berharap.
"Kami juga tidak berharap, orang juga nanti tahu sendiri," tandas Sri.
Untuk menghormati dan mengenang jasa-jasanya nama Setyoadi dipakai namanya jalan. Jalan itu berada di Pasar Kedungmaling. Ada namanya Jembatan yang terletak di Desa Bicak juga menggunakan namanya.
Advertisement