Kalisat Tempo Dulu, Bebatuan Berkisah dan Dampak Hilangnya Gumuk
Komunitas Sudut Kalisat, Jember kembali menggelar pameran arsip tahunan pada tanggal 7-8 Oktober 2023 malam. Pameran arsip kali ini memilih tema Bebatuan Berkisah.
Pameran arsip Kalisat Tempo Dulu 8 itu merangkum perjalanan kreatif Komunitas Sudut Kalisat selama hampir satu tahun belajar mengenal sejarah lingkungan melalui bebatuan.
Ada ratusan bebatuan yang diambil dari alam dipamerkan dalam kegiatan tersebut. Bebatuan yang awalnya tanpa makna itu, kini menjadi saksi tentang kejadian-kejadian pada masa lampau.
Bebatuan berbagai jenis itu diambil dari alam. Mulai sungai, kali, gumuk, pinggir jalan, dan beberapa batu lainnya tersimpan di rumah penduduk Kecamatan Kalisat.
Ahli geologi independen, Firman Syauqi N.S menyampaikan, batu merupakan yang menjadi sumber kehidupan. Elemen alam yang memiliki jumlah tetap itu berperan penting dalam menciptakan siklus alam.
Batu yang berasal dari perut gunung keluar ke permukaan bumi akibat terjadi letusan gunung berapi. Batu yang keluar dari perut gunung bergerak ke laut dan menjadi magma.
Magma kemudian naik ke gunung, dan keluar lagi menjadi batu berukuran kecil hingga besar. Pasca keluar dari dalam perut gunung, batu akan membentuk permukaan bumi menjadi tidak rata, ada lembah, bukit, dan gumuk.
Bentuk permukaan bumi yang tidak rata menciptakan udara yang tidak merata, karena udara akan terus bergerak. Berbeda dengan pada saat permukaan bumi rata, tidak akan ada perputaran udara.
“Karena permukaan tidak merata, angin terus berputar membawa udara bagus dari lereng pegunungan, udara segar. Sehingga keberadaan batu memengaruhi udara yang kita hidup,” jelasnya.
Selain itu, batu juga menyimpan kisah perjalanan bumi sepanjang masa. Firman mencontohkan batu yang berwarna merah menjadi saksi bahwa oksigen di bumi pada waktu itu berlimpah. Limpahan oksigen direkam oleh batu yang mengandung besi itu dengan berkarat.
Kemudian ada batu andesit berbintik putih merupakan batu yang berperan sebagai pemasok unsur kalium dan natrium. Batu tersebut menjadi saksi bahwa tanah di sekitarnya tumbuh untuk ditanami berbagai tanaman.
Lebih jauh Firman mengatakan, menjaga gumuk merupakan langkah menjaga arsip alami. Gumuk yang menyimpan arsip masa lalu berupa bebatuan akan menjadi saksi yang akan terus berkisah tentang masa lalu. Karena itu, jika gumuk hilang, maka saksi bisu itu juga akan hilang.
Berdasarkan bukti prasasti yang ada, aktivitas pertambangan batu sudah terjadi sejak zaman prasejarah. Manusia prasejarah, khususnya pada zaman batu menciptakan tempat ritual menggunakan batu.
Aktivitas pertambangan itu berlangsung sampai saat ini. Tidak hanya untuk kepentingan membangun gedung, namun juga digunakan untuk pengembangan teknologi.
“Pada zaman batu aktivitas pertambangan sudah ada, manusia pada saat itu membangun menggunakan batu. Saat ini masih terus berlanjut, batu ditambang untuk diambil kandungannya dijadikan alat elektronik, salah satunya HP,” pungkasnya.
Sementara itu, pemateri lain, Ahmad Badrus Sholihin mengajak masyarakat menjaga hubungan antara keberadaan gumuk dan kelestarian mata air. Berkurangnya gumuk di Kecamatan Kalisat sudah mulai dirasakan dampaknya, salah satunya berkurangnya debit air.
“Sebelumnya mencukupi kebutuhan para santri di Ponpes Miftahul Ulum Kalisat, namun saat ini debit airnya mulai berkurang,” katanya.
Menurut Ketua Panitia Kalisat Tempo Dulu 8, Hartono, kegiatan yang didukung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi itu menjadi festival rakyat. Komunitas Sudut Kalisat melibatkan cukup banyak warga, termasuk pelaku UMKM.
Selama kegiatan Kalisat Tempo Dulu 8 berlangsung, di Lapangan Voli Kampung Lorstkal diadakan pasar kuliner dan panggung budaya yang mengundang Tobacco Ska feat. Cipenk K2, Yulis Amora, Dila Dwica, dan Aprilia Media. Acara hiburan ini akan dipandu oleh Ayus Bangga, Kakak Bangga, dan Haris Ajee. Semua penampil berasal dari Kalisat.
Libatkan seniman lokal dan mancanegara
Tak hanya melibatkan seniman lokal, Kegiatan Kalisat Tempo Dulu melibatkan seniman mancanegara, yakni Sari Shibata, seninamn Jepang. Kemudian juga ada kolektif Gruppe 19 (Austria), dan Rose Barnsley (Australia).
Seniman lokal yang terlibat di antaranya Ayos Purwoaji (kurator seni) dan Cak Isnadi (budayawan).
Menurut Ayos Purwoaji, Kurator Independen Indonesia, memahami pembentukan paras bumi melalui metode geo-mitologi seperti yang dilakukan kolektif Sudut Kalisat merupakan praktik yang menarik.
Baginya, menempatkan komunitas masyarakat sebagai sebuah subyek aktif yang berusaha memahami, memaknai dan melindungi situs geologis dengan narasi yang mereka produksi sendiri.
Bagi komunitas masyarakat tersebut keberadaan berbagai situs geologis memiliki hubungan dengan eksistensi diri dan kebudayaan yang mereka miliki, bukan sekadar struktur material purba yang siap untuk dikeruk dan diesktraksi kapan saja.
Sementara Sari Shibata menampilkan sebuah serial karya fotografi yang mencermati sebuah fenomena baru yang disebut batuan plastik atau yang belakangan disebut para ilmuwan sebagai plastigomerate. Batuan plastik berjudul “Anthropocene Plastics” (2023) ini dihasilkan dari sebuah perjalanan di pinggiran pantai Pulau Hokkaido.
Sari menemukan berbagai bongkahan plastik yang mengeras dan menyerupai batuan terselip di sela-sela karang. Batuan plastik tersebut dihasilkan dari sampah plastik yang terombang-ambing di lautan, lalu menerima tekanan dan benturan ombak selama puluhan tahun.
Pada awalnya, Sari terkecoh dan berpikir bahwa batu warna-warni yang ia temukan ini alami, karena sekilas memiliki karakter permukaan dan kepadatan yang mirip dengan batuan di sekelilingnya. Beberapa dari batuan plastik itu bahkan menyatu dengan material lain seperti pasir, kerikil, atau kayu.
Karya-karya seni tersebut, bersanding dengan arsip-arsip bebatuan yang sudah dikumpulkan dari berbagai lokasi, mengantar pengunjung pada pemahaman yang mendalam mengenai proses geologis serta sejarah lingkungan di kawasan Kalisat.