Terselamatkan Kalimat Tauhid dan Lumba-lumba, Kisah Suryatno
Kalimat Tauhid dianggap telah menyelamatkan dirinya. Di tengah hempasan gelombang di laut lepas, Markus Suryatno berada di ambang kematian. Ini kisah menakjubkan:
Bila berlogika umum, Markus Suryatno bersama lima orang temannya mustahil bisa bertahan hidup. Kapal yang ditumpangi tenggelam setelah dihantam hujan dan badai. Seluruh anak buah kapal (ABK) selama empat hari terombang ambing di tengah ganasnya ombak di perairan Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat.
Nelayan yang sekarang aktif di Majelis Dzikir Assyifa, Jakarta, selamat dari musibah yang nyaris merenggut nyawanya berkat kalimat Tauhid, "Laa ilaha ilallah". Demikian pertolongan Sang Khaliq yang dilewatkan melalui makhluknya, ikan lumba-lumba.
Suryatno yang beragama Katolik ketika itu, tidak tahu apa yang dibaca temannya yang seluruhnya Muslim.
"Saya spontan ikut mengucapkan Laa Ilaha Ilallah, meskipun tidak tahu artinya, " kata Suryatno, mengisahkan pada ngopibareng.id.
Musibah yang nyaris membuat nelayan pemburu udang atau lobster terkubur di laut. Itu terjadi ketika Suryatno akan berlayar ke Padang dengan membawa hasil tangkapan berupa 450 kg lobster bersama lima orang temannya. Mereka menggunakan kapal nelayan tradisional Tona.
Kelima orang temannya itu adalah Nanggodo sebagai nakoda, Agus bagian mesin, Dedi bagian tali, Dahrul sebagai juru masak, Sambok sebagai penanggung jawab isi kapal. Sedang Yatno bertugas sebagai asisten kapten kapal.
Di tengah gelapnya malam, tiba-tiba terjadi hujan badai. Bersamaan itu gelombang laut di perairan Kepulauan Mentawai yang dikenal ganas menghantam kapalnya hingga kehilangan kendali.
Dalam hitungan menit lambung kapal tradisional Tora berukuran sekitar 6 x 12 meter, berlobang dan seisi kapal berantakan.
Berbagai upaya penyelamatan dilakukan dengan menutup lobang di lambung kanan kapal selebar 35 sentimeter, agar air laut tidak terus masuk. Tapi upaya ini sia-sia, debit air laut yang masuk ke kepalnya semakin tinggi membuat seluruh anak buah kapal panik dan akhirnya pasrah, hidup atau mati.
Melihat kapal sudah tidak bisa dipertahankan, kapten Naggodo bersama anak buahnya membuat ikrar kesetia kawanan. Hidup bersama mati bersama. Sebelum bersama-sama menceburkan diri ke laut, dengan alat pelampung seadanya. Keenam ABK ini mengikat tangan masing masing pada seutas tali. Jangan ada yang terpisah.
Setelah terjuan ke laut ujian yang dihadapi Yatno bersama teman-temnya semakin berat. Waktu badai mulai reda, tantangan berikutnya, bertarung melawan ganas ombak perairan Kepulauan Mentawai. Berhari-hari diombang-ambingkan ombak dalam keadaan haus dan lapar.
"Saya dan teman-teman makan potongan sterofom. Minum air laut bercampur kiringat yang membasahi di kening kami," kata Yatno.
"Akhirnya Yatno berkesimpulan kalimat Tauhid dan dzikir adalah sebuah energi baru bagi dirinya. Karena itu setelah keluar dari Rumah Sakit Yos Sudarso, Yatno memutuskan masuk Islam."
Yang membuat ABK gelisah, dua hari terkatung-katung di laut tidak melihat kapal yang lewat. Di tengah ketidakpastian antara hidup dan mati, Yatno mendengkarkan temannya mengucapkan kalimat tauhid "La Ilaha Ilallah". Terus menerus.
Tanpa sadar bibir Yatno bergetar mengikuti teman-temannya membaca kalimat Tauhid, meskipun tidak tahu maknanya.
Setelah membaca kalimat Tauhid, halusunisasi dan bayang bayang yang mengerikan, mendadak hilang dan ombak yang ganas itu mulai ramah.
Sekawanan ikan lumba tiba-tiba.
"Saya sempat berprasangka buruk, bahwa puluhan lumba-lumba yang datang tiba-tiba menjelang fajar itu akan memangsanya. Tapi prasangkanya itu salah. Lumba-lumba itu ternyata datang untuk menyelamatkan kami," kenang Yatno.
Tubuh Yatno dan lima orang temannya yang kehabisan tenaga itu didorong dari bawah oleh ikan lumba-lumba sampai ke pantai Pulau Toran jarak yang terdekat dengan Padang.
Dari kejahuan mata Yatno remang-remang melihat ada perahu yang menjemputnya. Ia melihat teman-temannya masih utuh. Tidak ada yang terpisah di laut.
Setelah itu Yatno jatuh pingsan. Sekujur tubuhnya pedih, telapak kakinya melepuh setelah terendam di laut. Warna kulit berupa menjadi hitam kelam akabat sengatan matahari.
Yatno baru sadar sudah sampai di darat setelah dirawat selama tiga hari di RS Yos Sudarso Padang. Selama dalam perawatan, Yatno mendengar suara gemuruh seperti ombak di perairan Mentawai. Tapi pada saat mendengar adzan suara-suara dan halusinasi yang membuat Yatno gelisah, langsung hilang.
Akhirnya Yatno berkesimpulan kalimat Tauhid dan dzikir adalah sebuah energi baru bagi dirinya. Karena itu setelah keluar dari Rumah Sakit Yos Sudarso, Yatno memutuskan masuk Islam.
Di sebuah musala kecil di Padang ia mengucapkan kalimat sahadat:
"Saya berjanji tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah."
Pada detik itu bapak tiga anak hasil pernikahannya dengan Netti, tidak lagi menggunakan nama baptis.
Tragedi yang terjadi 10 tahun silam, oleh Yatno dianggap sebagai "mukjizat" menuju kehidupan baru. Yang sebelumnya hidup tanpa aturan, diperbudak oleh hawa nafsu. Yatno melakukan apa saja yang menjadi keinginan nafsunya, sekarang semua itu sudah ditinggalkan.
"La illaha Ilallah, Allahu Akbar," kata Yatno dengan lembut.
Bola matanya berkaca-kaca. Ia kemudian memeluk istrinya erat erat. (Asmanu Sudharso).
Advertisement