Kaleidoskop 2021: Kemenangan Taliban Bukan Kemenangan Islam
Presiden Jokowi mendadak mengutuskan Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi untuk bertemu dengan Taliban, Kamis 26 Agustus 2021. Hal itu menyusul kemenangan Kelompok Taliban di Afghanistan.
Retno Marsudi akhirnya menemui Wakil Perdana Menteri yang juga merupakan Menlu Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, Perwakilan Khusus Pemerintah Amerika Serikat untuk Afghanistan Zalmay Khalilzad serta perwakilan Taliban dari Kantor Urusan Politik.
Pengamat Sosial Politik Arya Wisnuardi mengatakan, bangkitnya kembali Taliban di Afghanistan akan memunculkan sistem politik baru yang perlu diwaspadai karena dapat mengancam sistem demokrasi yang saat ini sedang dijalankan oleh banyak negara, tak terkecuali Indonesia.
Pernyataan tersebut terungkap dalam Diskusi Publik bertajuk, "Kemenangan Taliban: Antara Euforia dan Keindonesiaan Kita" yang diselenggarakan Serikat Mahasiswa Universitas Paramadina, Jakarta Pusat, Jumat lalu.
"Kewaspadaan kita sebagai bangsa Indonesia itu perlu juga melihat bahwa kebangkitan kembali Taliban dapat memunculkan sistem pemerintahan baru, yaitu nomokrasi," kata Arya.
Selain itu, lanjutnya, kemenangan Taliban juga dapat memotivasi gerakan kelompok radikal tanah air kembali melancarkan aksinya. Sebab, menurutnya, ada beberapa kelompok radikal di Indonesia yang menyatakan kemenangan Taliban sebagai kebangkitan Islam.
"Ada beberapa organisasi yang berafiliasi dengan kelompok radikal di sini yang menyatakan bahwa itu (kemenangan Taliban) adalah kebangkitan Islam," tuturnya.
Hal senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia Islah Bahrawi. Ia mengungkapkan bahwa yang dikhawatirkan dari kebangkitan Taliban adalah resiliensi idiologisnya di Indonesia yang disebabkan oleh adanya beberapa pandangan bahwa kemenangan Taliban sebagai kebangkitan khilafah di dunia.
"Yang kemudian kita takutkan bukan kemudian (Taliban) melakukan eksportasi pejuang atau mereka melakukan importasi pejuang, bukan itu. Yang kita takutkan adalah resiliensi idiologisnya di seluruh dunia, karena banyak sekali produk-produk Afghanistan ini yang masih menggeliat di banyak negara," ujarnya di tempat yang sama.
Terlebih, lanjutnya, fakta menunjukkan sejumlah teroris yang ditangkap di Indonesia memiliki buku yang sama dengan buku-buku dari kelompok Taliban, yaitu Managemen Kebiadaban yang ditulis Abu Bakar Naji.
"Sama persis (bukunya). Ini sudah saya lakukan studi komparasinya, saya sudah melakukan studi komparasi ke Afrika, saya sudah pernah ke Nigeria, saya juga pernah melakukan studi komparasi literatur dengan gerakan radikal di Sudan, saya sudah tiga kali ke Afrika. Saya sudah beberapa kali ke negara di Asia Tengah dan Tenggara dan semuanya sama," tuturnya.
"Ini (Buku Manajemen Kebiadaban, red) juga ditemukan di semua organisasi teror, mulai dari JAD, JI, JAK, JAS, JAT, MIT, MIB, semua punya buku ini," imbuhnya.
Masih di forum yang sama, pengamat terorisme Indonesia Al Chaidar mengatakan, paham radikal kelompok Taliban kemungkinan dipengaruhi oleh madzhab Imam Hanafi yang dikenal cukup keras, terutama terhadap perempuan.
Prinsip-prinsip Hanafiyah
"Di Afghanistan itu menganut prinsip-prinsip Hanafi. Perempuan wajib menutup seluruhnya. Bahkan mata perempuan dianggap sebagai sumber dari daya tarik yang sangat menggugah, yang sangat mengerikan, yang sangat ditakuti, dan itu harus ditutup oleh orang yang bermadzhab Hanafi. Mungkin karena madzhab itulah maka kelihatan radikalisme itu muncul. Jadi siapa-siapa yang tidak menggunakan atau memakai pakaian yang sesuai madzhab itu dianggap menyimpang. Perlakuan (Taliban) terhadap wanita ini memang masih problematis. Masih mengerikan," ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, mantan Anggota Jamaah Islamiyah (JI), Nasir Abbas juga secara tegas menolak kemenangan Taliban dianggap sebagai kemenangan Islam.
"Ada yang bilang kemenangan Taliban itu kemenangan Islam, saya bilang tidak. Itu kemenangan Taliban, tidak mewakili umat Islam," tegasnya.
Nasir juga menjelaskan adanya istilah-istilah di Afghanistan yang kalau diartikan dalam bahasa Indonesia seolah-olah memperjuangkan agama. Seperti halnya istilah "perang" dalam bahasa Indonesia yang di Afghanistan dikenal dengan "jihad".
"Ada istilah-istilah orang Afghan yang dari dulu sebenarnya sudah mereka pakai. Istilah-istilah Islam, termasuk perang. Kita sebut perang, mereka sebut jihad. Mau salat atau tidak salat, mereka perang bilang saya berjihad. Karena istilah mereka berperang adalah jihad. Mau dia Syiah kah, mau dia nasionalis kah, mau dia gerakan Islam kah, itu juga pakai istilahnya sama, jihad. Di pos tentara pun di sana ditulisnya jihad. Jadi bahasa mereka jihad. Dan mereka juga sudah terbiasa dengan 'Allahu Akbar' itu sudah bahasa mereka. Di sini saja yang ikut-ikutan," tuturnya.
Advertisement