Kalau Desa Menggeliat Pasti Potret Kehidupannya Seperti Jabalsari Ini
Geti, bukan Siti, apalagi Umi. Ada sih Tessy, tapi jelas dia juga bukan Geti. Eeittt ada-ada saja. Geti itu salah satu nama camilan, sedangkan Siti, Umi, juga Tessy mungkin saja yang suka nyemil Geti. Asik.
Beberapa daerah di Jawa Timur ada makanan tradisional bernama geti. Beberapa daerah itu malah diketahui sebagai produsen. Ada juga yang hanya sebagai konsumen. Hanya menjualkan produk itu. Karena mereka memiliki denyut pariwisata yang oke.
Geti itu jenis camilan yang manis. Biasanya, manis itu, menjadi camilan yang banyak disuka orang. Manis itu masih dipadu dengan rasa gurih. Gurihnya geti karena bertabur biji wijen yang merona rata. Sesekali bertemu dengan serpihan kacang tanah yang berbalut gula merah. Rasa gurihnya geti yang khas menjadikan camilan ini buah tangan cukup berharga untuk sanak family juga handai tolan.
Itu baru geti. Dilur geti ada yang lain. Asik juga. Bisa untuk buah tangan juga. Kalau sungkan (baca: enggan) untuk menjadikannya sebagai oleh-oleh minimal benda-benda yang disebut ini bisa untuk keperluan rumah sendiri.
Sebut saja: ada kemoceng (sebagian ada yang menyebut sulak), sapu, dan keset. Sapunya ada dari jenis sapu lidi, sapu dari ijuk, dan sapu dari sepet. Keset juga sama, ada dari bahan anyaman pilinan sepet dan bahan dari kain perca. Sungguh limbah yang bermanfaat.
Benda-benda ini begitu dibutuhkan. Tapi siapa pembuat dan dimana diproduksi tak banyak orang mengetahui. Mungkinkah informasi cukup penting ini hanya permainan para tengkulak sehingga ia bisa seenaknya membuat harga, atau karena memang tidak ada sentuhan publikasi atas produk-produk rumahan ini?
Jabalsari
Nama desa itu adalah Jabalsari. Termasuk wilayah Kecamatan Sumbergempol, Kabupaten Tulungagung. Cukup dekat dan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Blitar. Jabalsari bukan termasuk wilayah terpencil sebenarnya. Namun keberadaannya yang jarang diperbincangkan orang membuat desa ini seperti jauh dari pusat keramaian.
Padahal desa ini menyimpan segudang potensi yang layak jadi santapan publikasi. Hingga saat ini, orang tahunya, di Desa Jabalsari banyak terdapat aktivitas membuat keset dan sapu dari bahan ijuk dan sabut kelapa. Juga kemoceng dari bahan bulu ayam dan plastik rafia. Juga camilan geti.
Di luar aktivitas itu, masih ada kesibukan warga yang membuat batu bata merah. Konon, orang Tulungagung dan sekitarnya, tidak marem kalau membuat rumah sementara bahan baku batu bata merahnya tidak berasal dari Jabalsari.
Batu bata merah dari desa ini terkenal dengan kualitasnya yang jempolan. Selain aktivitas membuat batu bata merah, di dalam kampung juga banyak terdapat kolam-kolam perikanan untuk budidaya ikan air tawar. Ikan Nila paling bayak, menyusul kemudian gurami dan ikan lele.
Pendeknya, di Desa Jabalsari, nyaris tidak ada orang terlihat menganggur. Sebab semua aktivitas warga tersebut selalu dilakukan dengan padat karya. Aktivitas ini belum termasuk petani dan buruh taninya yang setiap hari tak pantang nyerah menggarap sawah dan ladang.
Pekerjaan petani memang mayoritas di desa itu, baru kemudian disusul dengan pekerjaan menjadi aneka perajin. Sebenarnya hanya sebagian kecil saja warga yang profesi aslinya perajin, lainnya hanya mengikuti musim dan naluri.
Musiman? Ya, musiman. Ini dilakukan ketika tidak ada lagi masa tanam dan masa panen. Mereka malih rupa menjadi perajin. Ya perajin sapu, ya keset, ya kemoceng, dan mungkin juga menjadi pedagang. Namun di antara yang hanya berkarya mengikuti musim dan naluri itu tak sedikit yang produk kerajinannya menuai sukses dipasaran.
Sunarti, Kepala desa perempuan di Jabalsari, merinci, warganya yang berjumlah 6.212 orang atau 1893 KK itu makin banyak saja yang menjadikan produk barang rumah tangga seperti komoceng, sapu, keset ijuk, keset bahan limbah kain jadi gantungan hidup baru. Tak sekadar pekerjaan sampingan untuk menghasilkan rupiah tambahan. Pasalnya, hasil pertanian acapkali tidak sesuai dengan harapan. Malahan seringkali merugi kena hama atau karena musim yang tak bersahabat seperti belakangan ini. Meski demikian, aslinya, mereka tak pernah mau benar-benar lepas dari lahan pertaniannya. (idi/bersambung)
Advertisement