Kala Covid Mampir
"Terima kasih Pak Dokter, semoga Allah SWT melimpahkan berkah buat Pak Dokter dan keluarga," ungkap bapak saya pelan. Ia pun memajukan lengannya untuk berjabat tangan. Dokter muda berpakaian APD lengkap itu pun berdiri dari kursinya.
Saya tak melihat apakah dia tersenyum, karena mengenakan masker. Namun, reaksinya di luar dugaan saya. Dia maju ke depan. Mendekat ke arah bapak.
Lantas, menjura ke arah ayah saya sambil membungkukkan setengah badan. "Terima kasih Pak," jawabnya ringkas. Saya yang melihatnya, hanya bisa trenyuh akan kerendahan hatinya.
Hari itu, jadwal bapak dan ibu saya kontrol. Dokter muda itu ingin memastikan kondisi mereka, setelah empat hari sebelumnya memberi surat sembuh dan menjalani proses pemulihan di rumah.
Seusai memeriksa, dokter muda itu berbagi kabar mengembirakan. Dia mengatakan kondisi paru-paru mereka sangat baik. "Bagus sekali, bapak dan ibu sehat, sembuh," tegasnya.
Sebelumnya, selama 17 hari, keduanya dirawat secara intensif di Ruang Isolasi Cempaka. Dari awal keduanya masuk rumah sakit, dokter muda ini yang mengajukan diri untuk perawat dan menanggani. Secara berkala, dia mengupdate kondisi keduanya.
Namanya, Onggo Williyanto. Dia dokter residen di RS Panti Wiloso Citarum, Semarang, Jawa Tengah. Pendidikan kedokterannya ditempuh di UNDIP. Lantas mengambil spesialis penyakit dalam di UGM.
"Kita sama-sama Kagama (Keluarga Alumni UGM), Dok. Maturnuwun," sambut saya. Dia terlihat gembira saat saya menyebut kata Kagama. "Oh, sesama Kagama," jawabnya.
Saat ngobrol selama proses kontrol ini, keramahannya memancar. Gampang berbagi cerita. Tawa renyahnya beberapa kali mengudar di udara.
Ada ketulusan dan rendah hati di sana. "Kesembuhan ini datangnya dari Tuhan," jelasnya. Mas dokter ini juga berbagi cerita, tentang dua pasien yang kondisinya sama dengan bapak dan ibu.
Keluhannya sedang, waktu masuk juga bersamaan. Sayangnya, keduanya meninggal dunia. "Padahal penangganan dan obat yang diberikan sesuai standar international dalam penangganan Covid," sambungnya.
"Bapak dan ibu, kecil kemungkinan terjangkit lagi Covid. Karena badan sudah ada imunnya. Namun, gula darahnya harus dijaga biar stabil. Untuk kontrol gula darah bisa ke sini, atau ke dokter lain. Jaga kesehatan ya," pesannya di akhir pembicaraan.
Proses perkenalan kami dengan Mas Dokter, tentu saja karena ketulusannya menolong sesama. Sumpah profesi dokter. Tanpa melihat agama, suku, atau hal lainnya.
Semuanya berawal dari kabar di pagi itu. "Hasilnya positif Mas," kata adik sepupu saya pagi itu di tanggal 20 November. Sesaat mendengar itu, badan saya luruh dan lemas. "Pakde dan Bude, sama," lanjutnya lagi.
Bapak saya berumur 71 tahun, Bunda sambung saya berumur 57 tahun. Dua-duanya punya riwayat penyakit bawaan. Usia dan kondisi yang rawan bila terjangkit Covid.
Awalnya Bapak sempat demam, muntah, lalu dibawa ke rumah sakit swasta di dekat rumah. Sempat difoto rontgen. Hasilnya, ada kabut putih di paru-paru Bapak.
Namun, karena tidak ada fasilitas swab di situ, keduanya saya minta swab mandiri di rumah sakit swasta di kota sebelah. Untuk lebih memastikan. Ternyata, specimen itu, harus dikirim ke Jakarta. Baru tiga hari berikutnya, hasilnya ada.
Setelah mendengar hasil swab itu, pikiran langsung berkecamuk. Cemas, mulas, lantas binggung. Saya segera menghubungi adik kandung yang sedang di Estonia. Bersama keluarga, dia mendampingi suaminya yang tengah mengambil gelar doktor.
Adik saya langsung menangis mendengar kabar itu. Dia merasa tidak bisa berbuat banyak, karena urusan jarak. Juga bertanya bagaimana rencana penangganannya. Bagaimana pengobatan terbaiknya.
Bapak dan Bunda saya tinggal di Batang, Jawa Tengah. Sebelum melakukan swab mandiri, mereka sempat mengambil pilihan. Bila hasilnya positif, mereka akan isolasi mandiri. Namun, karena sempat demam, ini bukan pilihan bijak.
Setelah berdiskusi, kami bersepakat untuk memilih isolasi dan dirawat di rumah sakit saja. Saya langsung menghubungi beberapa RS Rujukan Covid terdekat. Baik swasta atau negeri.
Hasilnya? Semua ruang isolasi penuh. Alternatifnya, harus dirujuk ke Semarang atau Solo. Kondisi ini membuat saya dan istri tambah binggung.
Sempat kepikiran akan saya bawa ke Bogor. Namun, mempertimbangkan kondisi mereka dan jarak antar dua kota itu, opsi ini di pinggirkan. Terlalu beresiko.
Saya dan istri pun berkonsultasi dengan teman yang dokter. Dia pun membagi kondisi yang kami alami dengan beberapa teman sejawatnya. Terutama yang bertugas di Semarang. Tak berapa lama, gayung bersambut.
Dia berbagi kabar baik. "Bawa ke RS Panti Wiloso Citarum, ada dr Onggo yang mau menanggani Bapak dan Ibu," jelasnya.
Mendapatkan kabar itu, saya langsung menghubungi bagian IGD RS Panti Wiloso Citarum. Untuk memastikan akan mengirim kedua orang tua ke sana. Mengabarkan juga, kalau dr Onggo yang akan merawat keduanya.
Saya sempat menanyakan, apakah bisa mengirim ambulan. Namun, untuk permintaan ini bertepuk sebelah tangan. "Biasanya, bisa minta tolong ke Puskesmas terdekat," jelas petugas ruang IGD.
Saya pun segera ke Puskesmas terdekat. Sayang, saya salah Puskesmas. Walaupun tinggal di daerah yang dekat, karena kelurahan bukan wilayah Puskesmas, saya disarankan ke Puskesmas lainnya.
Saat menemui Kepala Puskesmas, ternyata ambulans tidak bisa digunakan. "Kalau untuk Covid, langsung ke Bagian Emergency Dinas Kesehatan. Ada ambulans standby untuk keperluan itu," terang dokter Kepala Puskesmas itu.
Saya pun bergeser ke sana. Petugas jaga menerima dengan ramah. Dia juga menelepon rumah sakit, untuk memastikan penerimaan. "Bapak ke Puskesmas lagi ya, untuk minta surat rujukan sebagai surat jalan kami. Satu jam lagi kita berangkat," jelasnya.
Saya kembali ke Puskesmas. Sampai di sana, surat keperluan administrasi sudah disiapkan. Kepala Puskesmas terlihat menandatanganinya.
"Semoga Bapak dan Ibu cepat sehat," harapnya. Saya menghaturkan terima kasih. Lantas buru-buru bergegas pulang.
Saat jamaah Salat Jumat berhamburan pulang, rombongan kami pun bergegas ke Semarang. Dua petugas ambulans berpakaian APD lengkap duduk di depan. Saat naik ambulans, Bapak dan Bunda berjalan dari dalam rumah. Tanpa perlu pakai tandu. Beberapa tetangga turut melihat.
Sesaat sebelum naik, saya sempat melirik kedua petugas itu. Keringat sudah membasahi kening keduanya. Mereka juga membantu menaikkan koper ke dalam ambulans. Sebelum berangkat, saya menanyakan keduanya, apa yang harus saya persiapkan.
Keduanya menggeleng serempak. "Tidak ada Pak. Semua sudah ditanggung Pemkab Batang untuk perjalanan ke Semarang ini," jawab salah satu petugas evakuasi dalam bahasa Jawa halus. Kembali, saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan mereka.
Melalui jalan tol, perjalanan hanya butuh satu jam 15 menit untuk sampai ke rumah sakit. Saat masuk ruang IGD, mata saya bersitubruk dengan banyak perawat, para medis, dan dokter yang bekerja. Full berpakaian APD, kepada mereka saya turut berdoa agar senantiasa diberikan kesehatan.
Saat mereka ditangani perawat, saya bergeser ke ruang administrasi. Mengisi formulir dan menandatanganinya. Kembali memastikan, kalau dr Onggo yang akan menanggani. "Bapak, untuk penangganan Covid ini, semua biaya ditanggung Kementerian Kesehatan," kata petugas.
Awalnya, kami sekeluarga berharap, Bapak dan Bunda dirawat di satu ruangan. Biar bisa saling berkomunikasi dan ngobrol. Sayang, harapan ini kembali bertepuk sebelah tangan. "Kalau isolasi, pasti terpisah. Semua sendiri-sendiri untuk laki-laki dan perempuan" papar petugas.
Aduh, saya kembali lemas. Skenario yang diharapkan tidak mewujud. Selama di rumah, Bunda selalu melayani Bapak. Saya kepikiran, kalau sendirian bagaimana jadinya.
Tapi, saya menghormati aturan ini. Setelah semua selesai, saya kembali ke ruang IGD. Menjelaskan aturan itu ke Bapak dan Bunda serta membelikan beberapa keperluan untuk di ruang isolasi.
Di depan halaman rumah sakit, saya kembali mematung. Terdiam diri. Pikiran masih berkecamuk. Apalagi yang harus dilakukan, yang pasti penangganan medis sudah.
Sebelumnya saya juga searching profil dr Onggo, saya yakin dia salah satu yang terbaik. Background pendidikannya mantap. Selain itu, setelah sekian lama menanggani pasien Covid, saya yakin dia punya best practice penangganan berdasarkan kondisi pasien.
Saya pun menenangkan diri. Sekarang giliran saya dan keluarga yang harus membantu dengan doa. Lantas, saya berbagi kabar ini ke keluarga besar. Minta bantuan doa dari mereka.
Sambil merenung, saya pun mengirim pesan ke beberapa orang temen dekat. Salah satunya Pak Yuasak di Lamongan. Dia teman perjalanan saat melawat ke Palestina, Mesir, dan umroh. Kami biasa memanggilnya Mbah Ju.
Tak berapa lama, Mbah Ju malah balik menelepon. "Mas Kaji, insya Allah, Bapak dan Ibu akan kembali sehat. Mudah-mudahan dikasih kekuatan dan kesehatan sama Allah, amin," tegasnya.
Setelah mendengar kabar dari Mbah Ju itu, saya lebih tenang. Lantas, pergi ke penginapan untuk istirahat. Tak ada pikiran untuk berburu kuliner. Hanya berdoa, agar Allah berkenan memberikan kesehatan dan kesembuhan.
Saya pun mengirim email ke bos saya. Mengabarkan kondisi orangtua. Lantas, menginformasikan akan bekerja secara remote dari Semarang.
Malamnya, saya mendaftar tes swab untuk besok pagi di sebuah klinik di Semarang. Karena sempat bersinggungan dengan Bapak dan Bunda selama proses evakuasi dan petugas medis di IGD. Hari senin, hasil tes keluar dan saya negatif.
Oh ya, empat hari pertama adalah kondisi yang meneggangkan. Dari Bunda, saya dapat kabar kalau Bapak masih panas, lemas, gula darahnya naik, tidak mau makan. Hari pertama, binggung sendirian di kamar. Pikiran saya makin berkecamuk.
Saya sempat menghubungi teman, salah satu pejabat eselon 1 yang pernah kena Covid. Untuk lebih tahu bagaimana pengobatannya. Juga teman wartawan di Surabaya, untuk tahu obat cocktail Covid dari Unair. Lantas browsing beragam informasi tentang penyakit ini.
Hari ke lima, Selasa, saya memberanikan diri melakukan video call dengan Bapak. Dia mengabarkan kalau kondisinya makin baik. Sudah tidak panas lagi.
Lantas, mulai memaksa untuk melahap makanan. "Walaupun ada makanan dari infus. Tetap tak paksa makan," ujarnya dalam bahasa Jawa.
Dia memilih tidak menyalakan televisi atau meminta dikirimi koran dan majalah. Saya mengirimi Al Quran dan beberapa buku. Harapannya buat jadi teman bacaan. "Saya tawakal dan berdoa saja. Ini tangannya masih diinfus. Susah geraknya. Nanti saja kalau di rumah baca bukunya," sahutnya.
Baik Bapak dan Bunda saya mengabari kalau para perawat di ruang isolasi sangat baik dalam merawat dan melayani. "Perawatnya bilang, dr Onggo pesan kalau dia kenal dengan anak Bapak dan Ibu, jadi harus diperhatikan penanggananya," kata Bunda menirukan perkataan perawat.
Obat yang diberikan beragam macam. Dari antibiotik, pengecer darah agar lebih gampang menyadap oksigen, insulin untuk gula, obat lambung, hingga vitamin. Saya tak hafal nama mereknya. "Ini obat invusnya mahal, kata perawat satu botol harganya Rp 2 juta," terang Bapak.
Bunda tidak memakai selang oksigen. Namun, Bapak sesekali memakai selang oksigen kalau merasa sesak. Setelah mengetahui kondisi mereka membaik, saya memutuskan untuk pulang ke Bogor.
Untuk membantu keperluan Bapak dan Bunda, ada adik sepupu yang tengah kuliah di UNDIP yang bersedia membantu. Termasuk membelikan makanan dan minuman. Sesekali mereka meminta dikirimi nasi padang, nasi goreng, atau Soto Bangkong.
Karena di ruang isolasi, keluarga tidak boleh menjengguk. Bila ada titipan barang, harus ditaruh di lobby ruang isolasi. Nanti petugas yang akan membawa masuk.
Setelah sepuluh hari perawatan, Bunda menghubungi saya, kalau Bapak pengen pulang. "Ngotot pengen pulang. Mungkin merasa badannya sudah enak," tuturnya. Bisa jadi sudah mulai bosan.
Tentu saja, permintaan yang membuat saya binggung. Lantas, saya menghubungi adik. Kami berbagi tugas meyakinkan Bapak agar tetap dirawat. Boleh pulang atas perintah dokter, tidak boleh memaksa.
Biasanya, saya berkomunikasi dengan Bapak di pagi hari. Lalu, karena perbedaan waktu, adik saya punya kewajiban ngobrol sore atau malam hari. Sesekali, mantu dan cucu-cucunya juga ikut nimbrung.
Biar tidak bosan, saya melakukan video call bersama Bapak dengan adik-adiknya. Hanya sebentar. Namun, saya yakin bisa membuat hatinya lebih gembira.
Setelah beberapa kali proses komunikasi, Bapak akhirnya lebih tenang. "Ya, Bapak akan mengikuti kata dokter saja, bagaimana terbaiknya dan kapan boleh pulangnya," katanya. Hal itu membuat kami tenang.
Sampai akhirnya, keduanya diperbolehkan pulang ke rumah setelah 17 hari dirawat. Beberapa dokumen harus saya ditandatangani. Dibekali obat untuk empat hari dan diberi surat sembuh. Tanpa biaya sama sekali.
Kini, Bapak dan Bunda saya masih dalam proses pemulihan. Untuk mengelola gula darahnya yang melonjak tinggi, saya lantas menghubungi Mbak Niken. Pengelola balur asam amino di Kulon progo.
Beberapa kali mereka jadi pasien di sana. Jadi sudah hafal takaran jamu untuk menurunkan gula darah. Juga menambahkan vitamin dan beberapa suplemen buat proses pemulihan.
Pengalaman Bapak dan Bunda yang pernah sakit Covid ini, membuat saya lebih hati-hati. Agak pobia sedikit. Yang pasti, harus menggunakan masker dengan benar, menjaga jarak, juga rajin cuci tangan.
Kebiasaan olah raga, juga terus dijaga. Bersama istri, minimal tiga kali seminggu kami olah badan. Masih ditambahi lari. Juga minum rebusan rempah-rempah.
Menjaga kesehatan lebih penting. Itu mengapa dr Onggo yang marathoner itu masih memaksa untuk terus lari. Namun, karena kesibukan menangani pasien Covid, rute lari tak bisa jauh. "Hanya di sekitar komplek perumahan saja," jelasnya.
Tentu saja, perjuangan dokter, para medis, tenaga medis patut diacungi jempol. Berjibaku menolong sesama. Sekali lagi, terima kasih untuk pengorbanan dan perjuangannya.
Ajar Edi,
Kolomnis "Ujar Ajar"
Advertisement