Kalah Gugatan Soal Nikel di WTO, Indonesia Bakal Dapat Rp465 T
Pemerintah Indonesia kalah gugatan Uni Eropa di Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Gugatan tersebut atas kebijakan larangan ekspor bijih nikel sejak awal 2020.
Sejatinya, kegiatan pelarangan ekspor bijih nikel ke luar negeri upaya pemerintah Indonesia mendapatkan nilai tambah yang lebih besar dari komoditas nikel melalui hilirisasi.
Tak tanggung-tanggung, dalam catatan Kementerian Investasi atau Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), pada tahun ini hasil ekspor nikel yang sudah dilakukan hilirisasi diprediksi menembus US$ 27 miliar-US$ 30 miliar atau Rp418 triliun - Rp465 triliun (kurs rupiah Rp 15.500 per US$).
Sebelum larangan ekspor bijih nikel berlaku di Indonesia, nilai ekspor bijih nikel hanya mencapai US$ 3 miliar atau Rp46,5 triliun (kurs Rp 15.500 per US$) pada tahun 2017-2018. Adapun di tahun 2021 nilai ekspor melejit mencapai US$ 20,9 miliar atau sekitar Rp 323 triliun.
"Menurut data perdagangan dan Kemenko, kami Insya Allah akan menutup 2022 ekspor nikel bisa mencapai US$ 27 - US$ 30 miliar (Rp465 triliun) dari dampak hilirisasi," kata Bahlil.
Bahlil menyatakan, hilirisasi nikel dengan melarang ekspor bijih nikel ke luar negeri sebelumnya mendapatkan banyak penolakan dari berbagai negara termasuk Uni Eropa (UE).
Namun bisa dijelaskan Bahlil, bahwa pelarangan ekspor raw material atau mineral mentah sebagai upaya Indonesia menciptakan dekarbonisasi atas industri yang ramah lingkungan.
"Tapi apa yang terjadi, kami di bawa ke WTO. Tapi kami Indonesia tidak sedikit pun mundur dalam menghadapi tantangan ini ketika kami ingin menjadi negara maju," kata Bahlil.
Sebelumnya, dalam rapat kerja (raker) bersama Komisi VII DPR, Menteri ESDM Arifin Tasrif menyebutkan, Indonesia kalah gugatan di WTO oleh Uni Eropa.
Hasil putusan panel WTO yang dicatat dalam sengketa DS 592 sudah keluar pada 17 Oktober 2022. Isinya memutuskan bahwa kebijakan Ekspor dan Kewajiban Pengolahan dan Pemurnian Mineral Nikel di Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994.
Dalam final panel report tersebut juga berisi panel menolak pembelaan yang diajukan oleh Pemerintah Indonesia terkait dengan keterbatasan jumlah Cadangan Nikel Nasional dan untuk melaksanakan Good Mining Practice (Aspek Lingkungan) sebagai dasar pembelaan.
Menteri Arifin menyampaikan, keputusan panel belum memiliki kekuatan hukum tetap. Maka, Indonesia tidak perlu mengubah peraturan atau bahkan mencabut kebijakan yang dianggap tidak sesuai sebelum keputusan sengketa diadopsi Dispute Settlement Body (DSB). "Keputusan panel belum memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga Pemerintah akan melakukan banding," ungkap Arifin.
Adapun final report akan didistribusikan kepada anggota WTO lainnya pada tanggal 30 November 2022 dan akan dimasukkan ke dalam agenda DSB pada 20 Desember 2022.
Setidaknya, ada beberapa peraturan perundang-undangan yang dinilai melanggar ketentuan WTO. Pertama, UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).
Kedua, Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Ketiga, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Keempat, Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.