Kalah dengan Media Digital, dari Juragan Koran Jadi Penjahit
Dominasi media digital berimbas pada nasib distributor maupun penjual koran dan majalah. Mereka pun terpaksa beralih profesi setelah koran ditinggalkan pembacanya.
Ada yang menjadi penjahit, tukang tambal ban dan tukang parkir. Predikat juragan koran sudah lama di kubur.
Kenyataan yang dihadapi penjual koran ini berbanding terbalik dengan sebelum ada media digital. Kalau ada kejadian besar pertanda baik, koran pasti laris manis. Berapa eksemplar pun pasti ludes terjual.
"Waktu itu saya memegang seluruh koran pagi maupun sore. Ada Harian Kompas, Pos Kota, Republika, Jawa Pos, Suara Karya, Sinar Harapan, Rakyat Merdeka, Harian Terbit, dan masih ada beberapa lagi," kata seorang penjual koran bernama Mamat.
Pria berusia 54 tahun yang tinggal di Budi Swadaya Kebun Jeruk Jakarta itu sekarang beralih profesi menjadi tukang jahit rumahan setelah koran ditinggalkan pembacanya.
Mamat menjadi penjual koran sejak masih muda, mulai 1986 sampai 2019. atau sekitar 33 tahun. Pelangganya waktu itu berjumlah sekitar 1.500 orang. Selain melayani pelanggan rumahan, juga karyawan kantoran.
Waktu masih jaya-jayanya media cetak, saat yang menyenangkan bagi Mamat . Selain memperoleh penghasilan dari menjajakan koran dan majalah, juga bisa mengikuti perkembangan dunia dan situasi di Tanah Air melalui berita di koran.
Bahkan beberapa penjual koran ada yang bisa menyekolahkan anaknya di perguruan-perguruan tinggi sampai menjadi sarjana. Tetapi saat teknologi digital berkembang pesat, diikuti dengan lahirnya media online, media cetak dan penjual koran pelan-pelan terdampak.
Pembaca koran mulai beralih ke media online, dalil mereka, media online lebih simpel, penyampaian beritanya lebih cepat.
"Kejadian sekarang, beberapa menit kemudian beritanya sudah tayang, berikut perkembangan terbaru lengkap dengan foto-fotonya," ujar bapak tiga anak yang gemar olah raga jalan kaki dan bersepeda tersebut.
Sementara, sambungnya, media cetak tergantung waktu terbitnya, harian pagi atau harian sore. Sehingga kalah cepat membuat para pembaca pun mulai meninggalkannya.
Media cetak yang masih bertahan seperti Harian Kompas (Jakarta), Jawa Pos (Surabaya), Kedaulatan Rakyat (Yogya), Harian Waspada (Medan) tidak memberikan cukup penghasilan bagi para penjual koran.
Padahal, dulu di setiap perempatan jalan utama ada orang yang menjajakan koran, sekarang tidak terlihat lagi, karena tidak ada yang beli. Cukup dengan gawai atau HP sudah bisa membaca situasi dunia.
Jaga Kios Sambil Tambal Ban
Berbeda dengan Agus, yang punya kios koran dan majalah di Jl. Gili Samping, tak jauh dari Lembaga Pendidikan Sang Timur, Jakarta Barat. Kesetiaannya sebagai penjual koran dan majalah dipertahankan sampai sekarang, meskipun yang beli hanya beberapa orang saja. Itu pun tidak ajek.
Ketika Ngopibareng.id mampir di kiosnya ia sedang menambal ban mobil milik seorang ibu. Jarak antara kios koran dengan tempatnya sekitar dua meter, tidak jauh.
Di kiosnya terdapat beberapa majalah tempo dulu. Antara lain Femina, Kartini, majalah pertanian 'Trubus', Otomotif dan majalah anak-anak 'Bobo,' ditutup dengan selembar plastik bening untuk menghindari debu atau hujan.
Di atasnya ada beberapa eksemplar Harian Kompas dan Pos Kota. "Cuma dua koran itu yang kadang-kadang dicari orang," kata Agus, pada Sabtu, 30 Maret 2024.
Menjadi penjual koran sejak era sekitar 1980-an. Seingat Agus, waktu laris-larisnya koran, karena media digital belum ada. Sehari dia bisa menjual ratusan koran.
"Sehari saya bisa menjual 250 eksemplar, belum termasuk pelanggan tetap yang diantar ke rumah-rumah. Tapi setelah media digital mendominasi, koran pun banyak yang tutup, beralih ke medu online," tuturnya.
Agus sendiri beralih profesi menjadi tukang tambal ban, sambil menjaga kiosnya yang pernah menjadi bagian dari hidupnya.
Mamat dan Agus merupakan bagian kecil dari penjual koran yang menjadi korban dominasi media digital.
Berdasarkan data Dewan Pers, terdapat 1.711 perusahaan media di Indonesia yang telah terverifikasi hingga Januari 2023. Dari jumlah tersebut, media digital mendominasi sebanyak 902 perusahaan. Besarnya jumlah media digital seiring dengan tingginya penggunaan internet yang sangat pesat.
Masyarakat kini lebih sering mengonsumsi berita lewat perangkat elektronik karena lebih praktis dan gratis. Hal tersebut berbanding terbalik dengan media cetak yang mulai ditinggalkan pembaca lantaran beralih ke media digital. Data Dewan Pers menunjukkan, terdapat 423 perusahaan media cetak di dalam negeri hingga awal bulan lalu.
Sementara, jumlah media televisi yang terverifikasi di Dewan Pers masing-masing sebanyak 369 perusahaan, Sedangkan untuk radio, hanya tersisa 17 perusahaan yang terverifikasi di Dewan Pers hingga akhir bulan lalu.
Mantan Ketua Dewan Pers M. Nuh menyebut, media online yang belum terverifikasi Dewan Pers jumlahnya lebih besar. Setiap orang yang tidak bekerja di media cetak dengan mudah bisa mendirikan media online.
"Pemilik merangkap pemimpin redaksi, merangkap redaktur, merangkap wartawan," kata M. Nuh.
Menurut M. Nuh, merajalelanya media online ini harus segera dibenahi, karena banyak yang tidak sesuai dengan UU Pers serta meninggalkan kaidah jurnalistik.