Kaffarot Goblok
Sudah banyak bertebaran di media sosial penjelasan dari orang-orang ‘alim bahwa mufti memberi fatwa hanya jika diminta. Dan fatwanya wajib diikuti hanya oleh yang minta. Adapun pendapat yang diumumkan itu namanya “pernyataan publik”.
Baik fatwa maupun pernyataan publik tidak dapat serta-merta diberi status “ketetapan hukum” –yang dalam bahwa fiqih disebut qadla atau (bentuk jamaknya:) qadlaya— sebagai hasil keputusan hakim.
Pengertian tersebut di atas berkelindan dengan adanya kewajiban bagi setiap Muslim untuk mempelajari sendi-sendi agamanya, minimal sampai batas cukup untuk menjalani hidupnya sehari-hari. Kalau ketanggor hal yang ia tak tahu, baru nanya mufti. Maka jadi tidak lazim jika, umpamanya, ada orang minta fatwa tentang apakah kentut itu membatalkan wudlu atau tidak.
Asy-Sya’bi masih duduk-duduk di masjid usai shalat ‘Ied, ketika seseorang mendatanginya minta fatwa.
“Saya tadi keburu shalat ‘Ied sebelum sempat belanja permen dan suguhan-suguhan lebaran untuk keluarga dan tamu-tamu. Apa kaffarotnya?” (“Kaffarot” itu artinya denda)
“Sedekah dua dirham!” jawab Asy-Sya’bi.
Orang itu pun berlalu setelah mengucapkan terima kasih, dan segera menunaikan fatwa yang didapatkannya.
Beberapa murid Asy-Sya’bi yang menyaksikan semua itu lantas protes.
“Masak ada kaffarot macam begitu? Apa dasarnya?”
Asy-Sya’bi kalem saja.
“Nggak ada jeleknya fakir-miskin menikmati barang dua dirham duitnya orang goblok”
Advertisement