Kado Kaget Kades Kita
Tiga calon Kepala Desa itu membuat kaget warganya. Menawarkan hadiah undian, kalau mereka menang. Tentu saja, hadiah yang diundi yang dijanjikan pemenang.
Kekagetan ini terjadi Rabu, 11 November 2019 lalu. Pesta demokrasi ini digelar di Desa Rembun, Kec Siwalan, Kab Pekalongan, Jawa Tengah. Ada tiga kandidat yang bertarung: Kaena, Subekti, dan Nur Hayyi.
Semuanya bersepakat, tidak akan mengguyur uang serangan fajar. Namun, semuanya boleh menjanjikan doorprize. Alias hadiah yang bikin kaget. Tidak ada batasan atas hadiah yang ditawarkan.
Pertarungan pun dimulai. Kaena, kandidat nomor urut 1 menjanjikan sembilan sepeda motor. Semuanya baru, diangkut dari dealer motor. Dipajang di depan rumahnya.
Setali tiga uang, Subeki, kandidat nomor urut dua tak mau kalah. Turut memajang empat sepeda motor. Sayang, jumlah ini tak bakal menarik pemilih.
Yang mencengangkan dan paling spektakuker adalah kandidat ketiga. Nur Hayyi, dia menggelontorkan tiga macam kejutan. Pertama, lima sepeda motor baru dipajang.
Lantas, dia tambah lagi dengan tiga paket umrah. Biar lebih menarik pemilih, agar lebih kaget, dia pasang satu buah mobil Grand Max. Walaupun yang ini terhitung mobil bekas.
Bagi saya, ini ide unik. Tentu saja, Pilkades jadi lebih rame serta menarik. Walau unsur judi lebih mengulik.
Jangan bayangkan ada adu program. Atau debat berpanjangan. Paling, paparan visi misi sebagai pelengkap administrasi.
Tersurat, adu hadiah kaget yang terpampang. Memang, dengan hadiah ini, ongkos politik bisa ditekan lebih murah. Tak ada cerita yang stres karena utang.
Tak kepilih, motor baru tinggal dikembalikan ke dealer. Ya, paling uang muka atau uang komitmen hilang. Tak percaya? Kita pakai hitungan sederhana.
Warga Desa Rembun yang punya hak pilih sekira 4.500 orang. Kalau satu orang dihargai Rp 300 ribu, total butuh Rp 1.3 miliar. Itu juga belum jelas apakah terpilih atau tidak.
Ini yang terjadi di salah satu Pilkades di seputaran Pekalongan juga. Empat kandidat bikin kesepakatan. Uang suara hanya Rp 300 ribu per orang.
Tak boleh lebih, tak boleh kurang. Hasilnya? Benar-benar pesta demokrasi.
Seorang warga bisa dapat Rp1,2 juta. Karena semua kandidat memberi uang. Padahal, entah siapa yang dipilihnya.
Karena ingin tahu lebih detail peristiwa hadiah kaget itu, saya pun menghubungi Robby Bernadi. Seorang wartawan yang bertugas di kawasan Pekalongan dan sekitarnya. Dia teman SMA saya dulu.
“Akhirnya yang menang Nur Hayyi,” ungkap Mas Robby. Memang, bila melihat dari janji tawaran hadiah kaget itu, hanya dia yang paling heboh. Namun, Mas Robby punya cerita menarik.
Setiap kandidat saling melirik perubahan hadiah doorprize. Apalagi menjelang tengah malam. Tim sukses mereka tetap bergerilya.
Jangan heran, di spanduk mereka, jumlah sepeda motor ada tempelan angka baru. Ada tambahan hadiah. Itu mengapa akhirnya, jumlahnya bisa fantastis. Saling mengebom.
Lantas, bagaimana mekanisme undiannya? Ternyata, sehari sebelumnya warga sudah datang ke tiap rumah kandidat. Tentu ada acara makan-makan dan penyampaian doa restu.
Walau ada maksud utama lainnya. Mereka datang meminta kupon bernomor. Agar bisa ikut undian doorprize.
Lantas nama, no KTP, juga alamatnya akan dicatat. Tentu saja, dari jumlah warga pengambil kupon sudah ketahuan, siapa pemenangnya. Bisa jadi, semua warga datang ke seluruh kandidat.
Setelah hasil pemilihan diumumkan, warga bergerak ke rumah Nur Hayyi. Bergembira. “Kupon diundi di sana, untuk memperebutkan semua hadiah,” jelas Mas Robby.
Mas Robby ini lulusan Fisipol Unsoed Purwokerto. Menurutnya, fenomena sosial ini baru. Sepertinya, masyarakat mencoba bereksperimen. Salah satunya karena tingginya biaya politik.
Berbicara tentang Purwokerto, saya punya pengalaman mengamati Pilkades di sana. Tepatnya di Ajibarang. Pada medio Agustus 2003.
Dalam konteks masa waktu dan kondisi, banyak hal menarik yang terekam. Misalnya, sebulan sebelum pilkades, pesta pun sudah dimulai. Tiap calon melakukan open house.
Menyuguhi warga dengan beragam keriangan. Dari rebusan pisang, jajan pasar, kue kering dan kue kaleng, minuman yang selalu hangat, hingga rokok. Yang juga tak ketinggalan: hiburan.
Dari karaoke hingga pemutaran film lewat VCD. Agar warga butuh berkumpul. Pernak-pernik kecil ini, sudah mulai menggerogoti keuangan kandidat.
Pada kondisi Pilkades yang tradisional itu, ada tiga prasyarat yang harus dimiliki seorang calon. Pertama, bandha. Uang atau harta. Karena jelas, butuh uang banyak untuk ubo rampe menghidupi kerumunan dan memberi uang.
Kedua, bandhu atau keluarga. Intinya, calon harus mempunyai garis trah (keturunan) pemimpin. Semisal, bapaknya, kakeknya, atau buyutnya pernah jadi kades.
Selain itu, jaring keluarga besar adalah sumber utama pendulang suara. Saat itu, media kampanye terbatas. Hanya memasang gambar saja. Karenanya, mereka juga jadi alat propaganda resmi.
Dan, ketiga, bandit atau penjahat. Golongan inilah yang diperlukan menggarap hal nonteknis. Dulu kala, bandit berperan mengamankan juga melindungi warga desa dari serangan perampok.
Uniknya, mereka hidup dari hasil merampok di desa lain. Namun, dewasa ini fungsi mereka berubah. Mereka jadi "aparat" seorang calon memaksimalkan suara.
Tugasnya riil. Dari penggalangan massa hingga intimidasi warga. Terakhir, melakukan serangan fajar.
Untuk menggaet massa, calon kades pun melakukan beragam cara. Misalnya mengelar pengajian ke penjuru dusun. Lantas tebaran janji.
Janji jadi piranti ampuh menjerat hati dan legitimasi masyarakat. Sebab, janji politik itu mengubah diri jadi jerat ideologis yang tak tertahankan. Dalam ilmu sosial, janji adalah penghantar kepercayaan juga sentimen populer.
Itulah yang akan selalu hidup dan diingat masyarakat. Akhirnya lahirlah keyakinan akan pemimpin. Maka dalam konteks mitologi Jawa, jabatan pemimpin sangat penting.
Ada satu tokoh utama. Lurah Semar, sang pengayom. Tokoh linuwih yang dianggap mampu melindungi, menyelesaikan masalah, dan membimbing ke arah kemakmuran.
Keyakinan ini menghantarkan, bahwa jabatan kades memerlukan pengaruh dunia lain. Kekuatan supranatural.
Pada simpul ini, peran perantara antara dunia manusia dan gaib berjalan.
Demi menggaet kepantasan ini, calon kades minta bantuan "orang pintar". Mereka banyak berziarah ke makam-makam keramat. Ada pula larangan tidur sehari semalam menjelang hari pemilihan.
Saat itu, ada satu golongan penting lainnya yang ikut menentukan putih hitamnya pilkades. Yakni para pejudi. Di tiap pilkades, dipastikan ada tiga macam tipe pejudi.
Pertama, bandar judi yang jadi sponsor seorang calon. Mereka tak segan-segan mengucurkan jutaan rupiah membantu keuangan. Dari kampanye hingga dana serangan fajar.
Tipe kedua, bandar judi biasa. Hebatnya, pejudi tipe ini berani pula melakukan serangan fajar agar jagonya menang. Yang terakhir adalah pejudi hiburan.
Namun, dengan perubahan zaman, semua perilaku dan praktik demokrasi desa itu runtuh. Semuanya tergantikan dengan hadiah. Hadiah yang membuat kaget dan bahagia.
Mungkin, yang masih bertahan adalah para pejudi. Mereka yang bisa beradaptasi dengan jaman. Mencari peluang demi keuntungan dan rasa penasaran.
Ajar Edi, Kolomnis “Ujar Ajar” di ngopibareng.id
Advertisement