Kadin Keberatan UMK Naik, Sebut Picu Pabrik Tinggalkan Jatim
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur mengaku cukup keberatan menerima keputusan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa yang menetapkan kenaikan besaran upah minimum kabupaten/kota 2022 rata-rata sebesar 1,75 persen atau Rp75 ribu.
Ketua Kadin Jatim, Adik Dwi Putranto mengatakan, keputusan tersebut sangat memberatkan pengusaha yang selama hampir dua tahun ini terdampak adanya pandemi virus corona atau Covid-19. "Ini keputusan yang berat bagi pengusaha. Terlebih situasinya juga masih pandemi,” ungkap Adik.
Keberatan tersebut, kata pengusaha di bidang agrobisnis itu, merujuk pada Peraturan Pemerintah nomor 36 tahun 2021 tentang pengupahan. Dalam PP tersebut dijelaskan adanya ketentuan tidak ada kenaikan upah untuk lima daerah, yaitu Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Mojokerto.
Upah di lima kabupaten kota tersebut dianggap sudah melampaui batas maksimal sehingga ketika ada kenaikan upah kembali sangat memberatkan pengusaha dan akan menimbulkan disparitas upah yang cukup dalam dengan kota lain.
"Kita ambil contoh upah di Surabaya dan Solo. Tahun ini UMK Surabaya sebesar Rp4.300.479,19 dan di tahun 2022 menjadi Rp4.375.479,19, naik Rp75.000. Sementara UMK Solo tahun 2021 sebesar 2.013.810 dan di tahun 2022 menjadi 2.034.810, naik sebesar Rp 21.000. Artinya, disparitas upah antara Surabaya dengan Solo lebih dari Rp 2,3 juta," bebernya.
Sementara industri di Jateng, lanjut Adik, memiliki banyak kesamaan dengan industri yang ada di Jatim, termasuk pasarnya juga sama. Sehingga hal ini akan berpengaruh pada daya saing produk yang dihasilkan.
Untuk itu, ia berharap, agar pada pembahasan penetapan besaran UMK harus memiliki kepastian hukum. “Kalau di tahun depan masih tidak ada kepastian (akan tetap atau berubah), ya kemungkinan akan ada banyak industri di Jatim yang merelokasi perusahaannya, geser ke daerah yang UMK-nya relatif rendah dan bisa ditoleransi. Sekarang kan akses tol sudah banyak," kata dia.
Lebih lanjut ia mengatakan, sebenarnya upah tinggi akan berdampak negatif terhadap upaya pemerintah dalam melakukan percepatan pertumbuhan ekonomi, baik daerah maupun nasional.
Di antaranya, lapangan kerja menjadi terbatas karena akan ada upaya efisiensi atau rasionalisasi yang dilakukan pengusaha karena tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut. Selain itu upah yang tinggi juga berdampak terjadinya substitusi tenaga kerja ke mesin, memicu terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK).
Selain itu upah yang terlalu tinggi juga bisa berpengaruh pada indeks daya saing Indonesia dan juga kepastian hukum di Indonesia, sehingga mempengaruhi kepercayaan investor dan bisnis.