Kader Muhammadiyah Tak Boleh Memiliki Pandangan Miopik
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir berpesan, kader Muhammadiyah tidak boleh memiliki pandangan Miopik. Aktivisme pada tingkat organisasi otonom (Ortom) adalah bagian dari membangun kematangan sebagai kader.
Melalui pengkaderan formal, Haedar percaya bahwa dikemudian hari para pelaku akan bisa memaknai proses yang telah dilewati.
"Meskipun jenjang pengkaderan dilakukan dengan rileks karena mengunakan media sosial, tapi substansi dan tujuan yang ingin dicapai tidak boleh dikesampingkan. Mengapai tujuan tersebut, tambah Haedar, dibutuhkan sikap disiplin. Karena disiplin merupakan bagian dari semangat Al Ashr, itulah yang harus dimiliki oleh para kader," tutur Haedar Nashir.
Ia menegaskan hal itu, di depan Pimpinan Pusat (PP) Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), dan peserta Taruna Melati Utama (TMU). Diamanatkan supaya dalam berorganisasi pada tingkat ortom bukan hanya dijadikan sebagai tempat menyerap materi, tetapi juga harus ada pelibatan rasa-irfani.
Menurut Haedar Nashir, dalam ber-IPM dan ber-Muhammadiyah, terdapat tiga hal yang perlu menjadi modal sekaligus landasan pemikiran dan sikap serta orientasi tindakan kader. Satu, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan tentang Islam. Dalam dunia Islam, tauhid sama. Tetapi pandang tentang Islam dan model penghayatan, serta pengamalannya itu beragam.
“Islamnya satu, tetapi pemahaman dan pengamalannya beragam. Ada hal-hal di mana tentu terdapat banyak kesamaan dan titik temu dalam memahami Islam. Tetapi ada hal yang berbeda, apalagi yang bersifat ijtihad,” kata Haedar.
Karena itu jika sudah menjadi IPM dan anggota Muhammadiyah, maka pemahaman keislamannya harus benar, komprehensif, dan kaffah dalam makna dan aspeknya dalam memahami Islam.
Islam dalam kerangka pemahaman Muhammadiyah adalah agama yang diturunkan Allah mulai dari nabi awal sampai nabi akhir zaman, dan agama yang dibawah oleh Nabi akhir zaman itu terkandung dalam Al Qur’an dan Sunnah yang maqbullah. Yang berisi dengan perintah, larangan, dan petunjuk untuk keselamatan dunia dan akhirat.
“Terakhir wahyu itu terkandung dan diturunkan dalam bentuk Al Qur’an. Maka Al Qur’an adalah kitab suci yang final, sempurna dan mengkoreksi kitab-kitab Islam sebelumnya.” Imbuhnya
Al Qur’an sebagai Kitab Suci agama Islam itu komprehensif, meyangkut ibadah, akhlak, dan muamalah duniawiyah. Termasuk jika Muhammadiyah merujuk kepada Sunnah, maka harus mencapai kriteria yang sudah makbullah baik matan maupun sanad-nya. Maknanya, sebagai kader Muhammadiyah dalam memahami Al Qur’an dan Sunnah harus jelas, mendalam, dan tidak parsial.
“Kader-kader IPM harus belajar Al Qur’an secara komprehensif dan mendalam, juga belajar Sunnah Nabi secara komprehensif dan mendalam,” kata Haedar Nashir.
Sementara, cara memahami kedua entitas tersebut kata Haedar, adalah dengan bayani, burhani, dan irfani. Secara bayani adalah memahami Al-Qur’an melalui teks, artinya ayat satu dipahami dengan ayat lain. Dan burhani adalah memahami ayat dengan pendekatan akal, ilmu pengetahuan, dan konteks.
Serta, pendekatan irfani adalah memahami Al Qur’an dengan pendekatan ruhani. Karena aspek Islam itu terdapat sisi ruhaninya.
Dalam berdakwah Muhammadiyah memiliki pemahaman amar ma’ruf nahi mungkar. Perlu diingat, karena pemahaman ini bagian dari dakwah maka harus dilaksanakan dengan bil hikmah wal mauidhatil khazanah wa jadilhum bi latihi hiya akhsan. Maka amar ma’ruf nahi mungkar tidak sama dengan jihadi, karenanya berdakwah tidak asal ‘hantam kromo’.
Kedua, pelajari kemuhammadiyahan. Menurut Haedar, belajar kemuhammadiyahan bagi setiap kader IPM adalah suatu keharusan. Selain dibelajari, muatan kemuhammadiyah harus dipraktekan dan menyebarluaskan dakwah tajdid/pembaharuan. Tidak boleh anak-anak IPM memiliki pemikiran yang konservatif, karena pemikiran-pemikiran Muhammadiyah sudah sangat maju.
“Kader tidak boleh memiliki pandangan miopik, karena Muhammadiyah memiliki pandangan modernis-reformis,” tuturnya
Advertisement