Kabinet Eksperimen - Negara Eksperimen
Oleh: Erros Djarot
Empat puluh hari biasanya digunakan sebuah keluarga Muslim (Nusantara) non-Muhammadiyah yang kesripahan, sebagai hari pamungkas untuk mendoakan arwah anggota keluarga yang meninggal. Pamungkas dalam kaitan tradisi mendoakan arwah yang baru meninggal dengan urutan hari pertama, ketiga, ketujuh, dan ditutup dengan 40 harian.
Doa bersama 40 harian ini, biasanya dihadiri semua kerabat dan keluarga dengan jumlah yang besar. Karena dipercaya bahwa hari keempat puluh adalah masa di mana arwah kembali pulang ke alam baka abadi selamanya. Ia meninggalkan alam fana dengan tenang karena kepergiannya diiringi doa keluarga dan kerabat dekatnya.
Secara kebetulan pada saat tulisan ini saya turunkan, Kabinet Indonesia Maju (KIM) telah melampaui masa 40 hari. Ketika Kabinet Indonesia Maju ini diumumkan pada 21 Oktober 2019, antara harapan dan kekhawatiran hadir sama besarnya di benak hampir seluruh rakyat di negeri ini. Kehadiran beberapa nama menteri baru yang menempati sejumlah posisi strategis, menjadi bahan gunjingan yang cukup hangat di masyarakat.
Komposisi menteri dalam KIM ini, menggiring para pengamat untuk tidak bisa lain kecuali menerimanya sebagai langkah Jokowi yang sangat berani. Sehingga tidak berlebihan bila kemudian disimpulkan sebagai kebijakan politik yang berani mengambil langkah ‘out of the box’. Atau lebih tepatnya berkesperimen dalam melahirkan susunan kabinet dan pembantu komplitnya (menteri, wakil menteri, stafsus, Jubir, dan lain-lain). Maka tidak berlebihan pula bila disimpulkan oleh sejumlah pengamat sebagai langkah yang melahirkan terminologi baru: ‘Negara Eksperimen’.
Terkait dengan mitos ’40 hari’, kehadiran KIM yang sudah melampaui hari keempat puluh, ternyata telah berjalan tanpa hambatan berarti. Dalam kaitan mitos 40 harian, sepeninggalnya Kabinet Kerja yang telah ‘berpulang’ 40 hari lalu dan digantikan dengan roh baru yang bernama Kabinet Indonesia Maju, sampai detik ini berjalan mulus tanpa hambatan berarti. Doa rakyat Indonesia ternyata masih didengar oleh Sang Chalik. Ditutup dengan acara Maulid Nabi dan doa bersama oleh kelompok masyarakat yang tergabung dalam Persaudaraan 212, berlangsung damai dan tertib.
Hanya saja angka 40 hari bukan angka yang biasa dijadikan standar hari dalam memberikan waktu pada pemerintah baru untuk bekerja tanpa hambatan. Berdasarkan kebiasaan, 100 hari lah yang dijadikan masa inkubasi bagi pemerintahan yang baru lahir. Setelah melampaui masa kerja 100 hari inilah kualitas kerja pemerintah baru dengan kabinet yang dihadirkan, dinilai keberadaannya apakah mendapat nilai positif atau negatif.
Secara pribadi, untuk kasus Indonesia dengan problema dan kondisi obyektif bangsa Indonesia yang serba multi dimensional di berbagai aspek kehidupan, 200 hari merupakan angka yang lebih pas. Masa 6 bulan merupakan waktu yang dibutuhkan oleh seorang menteri untuk mengenal dan memaksimalkan kinerja dalam bidang yang ia tangani. Apalagi bagi penyandang predikat menteri, wamen, stafsus eksperimen. Terlalu singkat masa 100 hari untuk kita dapat menilai kualitas kerjanya. 100 hari saya yakini sebagai masa yang sepenuhnya berada dalam tahapan mengenali masalah dan pemasalahan dalam kementerian yang ia pimpin.
Nah, apakah perjalanan 40 hari yang relatif lancar tanpa gejolak yang berarti ini akan berlanjut menembus 100 hari bahkan hingga 200 hari dengan mulus menghasilkan angka penilaian yang serba positif? Nah di sinilah persoalannya. Di tengah Indonesia yang digambarkan sebagai tubuh manusia yang tengah berada dalam ancaman demam tinggi yang merupakan potensi dari adanya kemungkinan serangan virus demam berdarah, sangat memerlukan seorang dokter ahli untuk menanganinya.
Nah, yang mengkhawatirkan, oleh Jokowi banyak dokter muda minim pengalaman dan sejumlah ahli non medis yang justru diturunkan ke lapangan. Sementara penyakit dalam tubuh Indonesia begitu nyata terdeteksi positif dan sangat membutuhkan penanganan serius untuk segera dibedah tuntas dibuang penyakitnya. Dalam keadaan seperti ini, kebijakan menurunkan tenaga dokter muda minim pengalaman dan para ahli non medis untuk melakukan operasi besar, langkah ini merupakan satu eksperimen yang luar biasa berani. Berhasil, luar biasa acungan jempol yang akan datang; sementara kalau gagal, luar biasa pula dampak negatifnya.
Dalam situasi tanda tanya ini Indonesia pun memasuki era ‘Negara eksperimen’. Di tengah keadaan serba tanda tanya dan degub jantung yang tak stabil, pasien yang bernama ‘Indonesia’ ini malah dirancang untuk masuk ke persoalan baru. Belum lagi kerja para dokter membuktikan kinerjanya menyembuhkan penyakit yang cukup kronis berhasil dikerjakan dengan baik, kita sudah digiring menyoal persoalan baru. Menyoal bagaimana agar Pak ‘Kepala Rumah Sakit’ bisa tiga kali masa jabatan duduk sebagai Kepala Rumah Sakit.
Begitulah kira-kira perumpamaan ketika isu Jokowi 3 periode (3X) mulai dihembuskan ke telinga rakyat bangsa ini agar mau menghidupkan kembali sistem pemilihan presiden melalui MPR. Karena pemilihan presiden langsung oleh rakyat yang dulu diperjuangkan dan menjadi agenda utama peristiwa Reformasi, dinilai tidak cocok dan boros segalanya. Artinya sebuah eksperimen yang gagal! Maka diperlukan cara pemilihan presiden kembali melalui mekanisme Sidang Umum MPR sebagaimana amanat UUD ’45 aslinya. Tentu pada saat akan digelar nanti, pasti akan ada eksperimen baru lagi. Minimal mekanisme pemilihan akan dilakukan melalui metode dan cara yang serba milenial.
Maka lengkaplah Indonesia ini menjadi sah menyandang predikat Negara Eksperimen. Bereksperimen menghadirkan kabinet eksperimen, eksperimen pemindahan ibu kota, dan terakhir eksperimen dalam kehidupan berkonstitusi. Jelekkah langkah ini? Akan baik dan mendapat acungan jempol bila akhirnya berhasil menghadirkan kualitas kehidupan yang lebih baik. Tapi sebaliknya, akan runyam dan berantakan bila semua eksperimen ini gagal total.
Setidaknya ada masalah besar yang berpotensi menghadang yang tak lain adalah realita obyektif bangsa ini yang kemampuan geraknya tengah terpenjara dalam ruang peradaban yang bergerak mundur ke belakang! Pada sisi lain kita terjerembab ke ruang dilusional sehingga sering mimpi terbang terlalu tinggi, lupa untuk berpijak ke bumi yang terbentang luas dengan seribu problema yang terkandung di dalamnya.
Kesimpulannya, berhentilah bereksperimen dan bermimpi terlalu tinggi. Tetaplah berpijak pada bumi sekali pun sengatan teriknya terasa panas membakar telapak kaki! Jangan malah ditutupi dengan selimut yang penuh bordiran indah agar rakyat dapat tidur nyenyak di balik selimut. Karena bara dalam sekam pada saatnya akan membakar habis selimut dan seisinya!
Semoga kekhawatiran ini tidak berlebihan dan hanya merupakan mimpi di siang bolong yang berbasis pada khayalan yang menakutkan. Mimpi dari seorang senias yang tengah menulis skenario sebuah film tentang kegagalan sebuah eksperimen yang rencananya diberi judul: ‘Negara Eksperimen’..!
*Dikutip sepenuhnya dari Watyutink.com.
Advertisement