Jusuf Kalla: Penghayat Kepercayaan Juga Orang Indonesia
Wakil Presiden Jusuf Kalla menanggapi positif upaya Kementerian Dalam Negeri yang mulai menerapkan kolom kepercayaan dalam dokumen kependudukan KTP elektronik dan Kartu Keluarga.
"Memang aturannya begitu, penghayat kepercayaan orang Indonesia juga. Kan sudah ada penjelasan juga sebelumnya bahwa aliran kepercayaan itu bisa berdiri sendiri, bisa dicatat. Ya sesuai aturan itu," kata Wapres JK kepada wartawan di Kantor Wapres Jakarta, Selasa.
Terkait masih adanya penolakan terhadap pencantuman kepercayaan dalam dokumen kependudukan tersebut, JK mengatakan, hal itu wajar terjadi karena Indonesia menganut sistem demokrasi.
Namun, Wapres mengingatkan bahwa penolakan terhadap pencantuman kepercayaan tersebut tidak boleh melanggar peraturan dan undang-undang yang ada.
"Bahwa ada masyarakat yang tidak setuju, wajar. Indonesia kan negara demokratis, wajar-wajar saja tidak setuju. Tapi tidak boleh menghalangi apa yang sudah diatur dalam aturan," jelasnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi pada 2017 telah membatalkan ketentuan Pasal 61 dan Pasal 64 dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Pasal 61 dan 64 menyatakan bahwa penduduk yang agamanya belum diakui secara resmi oleh pemerintah, atau penghayat kepercayaan, tidak dapat mencantumkan jenis kepercayaannya dalam dokumen kependudukan.
Pembatalan ketentuan pasal tersebut disahkan melalui Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 tanggal 18 Oktober 2017, untuk kemudian ditindaklanjuti melalui Permendagri No. 118 Tahun 2017 Tentang Blangko KK, Register dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil.
Pencantuman kepercayaan dalam dokumen kependudukan tersebut menimbulkan berita hoaks yang menyatakan bahwa pemerintah mulai menghilangkan enam agama resmi yang diakui pemerintah.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pun membantah kabar bohong tersebut, dan menegaskan bahwa pencantuman kepercayaan tersebut merupakan bentuk pengakuan pemerintah kepada setiap warga negara Indonesia.
"Yang sebetulnya terjadi adalah benar adanya bahwa negara, pemerintah mengakui keberadaan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa," kata Mendagri seperti dikutip dalam laman resmi Kemendagri. (an/ar)