Jurnalis Menulis Buku Kisah di Balik Liputan Istana, Unik dan Menggemaskan
Jurnalis yang biasa meliput di Istana sering dicap eksklusif. Ini karena tidak semua jurnalis bisa mendapatkan akses untuk meliput di area yang disebut Ring 1 itu.
Padahal, jurnalis yang biasa meliput di Istana Negara selalu kesulitan untuk mendapatkan liputan yang eksklusif. Karena itu, ada banyak cara yang dilakukan oleh para jurnalis untuk mendapatkan liputan yang berbeda atau unik yang jarang ditangkap oleh jurnalis media lain.
Mantan jurnalis harian Kompas, Elly Rosita mengungkapkan, seniornya di Kompas yaitu J Osdar jarang tertarik untuk mengejar narasumber di acara seremonial di era Presiden Soeharto. Karena, acara tersebut biasanya hanya diisi dengan makan-makan dan ditutup dengan sesi foto-foto
“Jadi, cara yang dilakukan Mas Osdar itu adalah dia selalu mewawancara musisi yang tampil di acara seremonial. Karena musisi yang tampil sudah pasti musisi papan atas Indonesia yang sudah dikurasi oleh Istana. Hasil liputan Mas Osdar biasanya naik di halaman Nama & Peristiwa. Suatu ketika salah satu jurnalis lain berusaha mengikuti ke mana pun Osdar pergi untuk wawancara. Dia ingin tahu siapa perempuan yang akan diwawancara Osdar. Pada suatu ketika, ada jumpa pers dan tidak ada satu pun jurnalis yang bertanya. Lalu tiba-tiba Mas Osdar melontarkan 10 pertanyaan. Ketika konferensi pers usai, saya bertanya apakah tanya jawab tadi direkam? Osdar menjawab dengan singkat: tidak. Besoknya, media lain mengangkat artikel dari pertanyaan Osdar tersebut dan Kompas sama sekali tidak menaikkan,” kata Elly dalam acara bedah buku “Kisah di Balik Liputan Istana: Era Soeharto sampai Gus Dur di Jakarta, Sabtu 18 Mei 2024.
Elly menambahkan, jurnalis di Istana Negara memang susah untuk mendapatkan eksklusivitas tetapi justru bisa memunculkan kebersamaan yang erat antar sesama peliput.
Irsyad Hadi, mantan jurnalis Radio Smart FM yang meliput di Istana Negara pada 2001-2204 bercerita tentang polah Presiden Abdurrahmad Wahid. Suatu ketika, Presiden Abdurrahman Wahid yang kerap disapa Gus Dur melontarkan pernyataan bahwa Tommy Soeharto akan ditangkap pada Juli. Ketika itu Tommy Soeharto terjerat kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita.
“Jadi ketika Gus Dur bilang April Tommy akan ditangkap, kami terus menanti. Sampai suatu hari menjelang bulan April berakhir dan Tommy belum juga ditangkap, para jurnalis di Istana kemudian bertanya kembali kepada Gus Dur, kenapa Tommy belum juga ditangkap. Dengan santai Gus Dur menjawab, mungkin dia lagi jalan-jalan,” kata Irsyad.
Asmanu Sudarso, mantan jurnalis Radio Suara Surabaya (SS) yang meliput di Istana Negara sejak era Presiden Gus Dur hingga Jokowi punya cerita unik tentang kelakuan para jurnalis di Istana.
“Jadi waktu itu selesai sidang kabinet, di era Presiden Megawati itu yang sering memberikan konferensi pers adalah Wakil Presiden Hamzah Haz. Jadi waktu itu sidang kabinet membahas tentang persiapan Idul Fitri. Tiba-tiba ada pertanyaan dari salah satu jurnalis yang bertanya dengan lantang: Pak bagaimana pengamanan alat vital menjelang Lebaran. Pak Hamzah Haz langsung tertawa mendengarkan pertanyaan tersebut. Maksud jurnalis itu adalah pengamanan objek vital dan entah kenapa kalimat yang keluar adalah alat vital,” ungkap wartawan yang punya nama udara, Jose.
Mantan jurnalis Detik.com Luhur Hertanto mengaku mendapatkan banyak pelajaran saat menjadi jurnalis di Istana Negara. Salah satunya adalah belajar melontarkan pertanyaan yang to the point kepada narasumber.
“Jadi waktu itu di era Presiden SBY dan Presiden AS waktu itu George Bush berkunjung ke Istana Negara di Bogor. Salah satu jurnalis yang mendapat kesempatan pertama adalah jurnalis dari TV. Saya mendengarkan pertanyaan dia dan rumit sekali. Setelah itu, giliran jurnalis dari luar negeri yang melontarkan pertanyaan dan sangat bagus sekali. Dia bertanya kepada Bush: Mister President, di luar sana ada ribuan orang yang ingin membunuh Anda karena Amerika Serikat menyerang Irak, apa yang ingin Anda katakan kepada mereka. Saya kagum dengan pertanyaan itu, sangat to the point dan clear,” kata Luhur.
Buku Kisah di Balik Liputan Istana: Era Soeharto sampai Gus Dur di Jakarta berisi tentang cerita para jurnalis yang meliput di Istana Negara dan ditulis oleh 52 jurnalis. Buku ini diterbitkan oleh Kompas Penerbit Buku dan disusun oleh Tingka Adiati dan Elvy Yusanti.
Ada 79 cerita yang disampaikan oleh para jurnalis Istana Negara yang sebagian besar kini sudah beralih profesi. Tinggal beberapa orang saja yang masih menekuni profesinya, salah satunya adalah Asmanu yang sekarang menulis di Ngopibareng.id setelah pensiun dari SS.
Buku Kisah Di Balik Liputan Istana, yang sudah bisa diperoleh di Toko Buku Gramedia, sejatinya dipersiapkan untuk kado HUT ke-79 Kemerdekaan RI pada 17 Agustus nanti. Cetakan pertama oleh penerbit, Kompas Gramedia, terpaksa dipercepat mengingat banyaknya pemesan yang ingin segera memiliki dan membaca buku tersebut.