Jurnalis dan Kaum Muda Surabaya Kolaborasi Aksi Iklim
Jurnalis, pegiat lingkungan dan kaum muda Surabaya berkolaborasi melakukan aksi iklim. Anin dari Paguyuban Korban UU ITE (PAKUITE) mendorong sebuah kolaborasi bersama merealisasi aksi nyata untuk mitigasi dan adabtasi perubahan iklim. “Bisa dibangun koalisi kebijakan di Surabaya yang melibatkan berbagai elemen. Terutama mengawal kebijakan publik yang terkait krisis iklim,” kata Anin.
Anin mencontohkan, untuk mengawal dan mendorong Pemerintah Kota Surabaya transportasi publik di Surabaya. Transportasi publik yang murah dan aman, katanya, menjadi bagian penting memitigasi krisis iklim. Sementara, selama ini di Surabaya dan Jawa Timur belum tersedia transportasi publik yang aman dan nyaman.
“Kalau ada fasilitas transportasi publik semua akan beralih meninggalkan kendaraan pribadi. Dulu ada Bemo, sekarang sudah hilang,” katanya. Komitmen komunitas dan kaum muda ini disampaikan dalam Rembuk Iklim: Kolaborasi Jurnalis dan Kaum Muda Jatim untuk Aksi Iklim yang diselenggarakan Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (The Society of Indonesian Environmental Journalists/SIEJ) bersama Yayasan Indonesia Cerah. Rembuk diselenggarakan di C2O Library & Collabtive Surabaya pada Sabtu, 17 September 2022.
Rembuk diikuti puluhan komunitas, dan organiasi kaum muda. Menghadirkan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Timur Wahyu Eka Setyawan, Sekjen SIEJ Joni Aswira Putra dan Founder Garda Pangan/XR Surabaya Eva Bachtiar sebagai pemantik rembuk iklim.
Wahyu mengatakan krisis iklim nyata dan sudah terjadi. Dampak krisis iklim atau bahaya iklim berupa bencana hidrometeorologi seperti angin kencang, hujan lebat, kemarau panjang dan banjir. “Banjir bandang di Batu terjadi akibat kehilangan tutupan hutan di kawasan hulu Brantas seluas 150-350 hektare,” katanya.
Intensitas longsor naik 25 persen, suhu udara naik dari 21 derajat celsius menjadi 22-23 derajat celsius. Sehingga menyebabkan apel sulit berproduksi. Bencana banjir juga mengancam 38 Kota/Kabupaten di Provinsi Jawa Timur, dalam tingkat ancaman yang beragam. Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo memiliki proporsi terancam banjir terluas dibandingkan kabupaten lainnya. Sedangkan, Blitar, Malang dan Madiun juga memiliki ancaman banjir yang relatif tinggi.
Diproyeksikan pada 2030-2040 ancaman banjir secara merata bertambah hampir di seluruh kawasan. “Banjir di Surabaya semakin luas, dan titik banjir semakin banyak. Bencana iklim ini nyata, lihat kenjeran sudah kehilangan pantai,” ujarnya.
Ancaman banjir, katanya, secara signifikan terkait peningkatan curah hujan dan tutupan lahan di sebuah kawasan. Serta dipengaruhi pengembangan daerah perkotaan (sesuai rencana tata ruang dan wilayah) yang terpusat di kawasan tersebut. Area sepanjang Sungai Bengawan Solo dan Sungai Brantas merupakan daerah yang berisiko banjir. Ancaman banjir di DAS Bengawan Solo dan Brantas meliputi Ngawi, Madiun, Magetan, Pasuruan, Probolinggo dan Bondowoso berisiko banjir.
Wahyu meneliti bagaimana respons 100 anak muda berusia 18-25 tahun terhadap bencana akibat perubahan iklim. Hasilnya, 70 persen anak muda sadar banjir disebabkan perubahan iklim. Sekitar 25 persen responden mengharap perubahan sistem, 38 persen mendorong nature based solustion dan selebihnya 47 persen mendorong pembangunan infrastruktur. “Secara tidak langsung anak muda peduli dan resah dengan krisis iklim. Terutama terhadap bencana iklim yang meningkatkan bahaya hidrometeorologi,” katanya.
Sementara Eva Bachtiar menuturkan isu krisis iklim merupakan perjuangan kelas. Lantaran dalam penelitian Oxfam pada 1990-2015 menunjukkan emisi karbon yang dihasilkan dari 10 persen orang terkaya setara dengan 90 persen populasi penduduk dunia. Sedangkan emisi yang disumbang satu persen orang terkaya, sama dengan 50 persen populasi termiskin dunia. “Kita hidup di bumi satu atmosfir, tapi yang terdampak kaum miskin dan rentan. Kondisi tidak adil, ini perjuangan kelas.,” ujarnya.
Surabaya panas, katanya, orang kaya tinggal membeli AC. Sedangkan jika terjadi kebanjiran orang kaya bisa pindah rumah. “Bagaimana mereka yang tinggal di pesisir, mereka tenggelam dalam diam. Karena tidak punya sumber daya,” katanya.
Sekjen SIEJ Joni Aswira menuturkan risiko atas krisis iklim harus terus diingatkan media massa agar masyarakat sadar. Jurnalis bisa berkolaborasi dengan CSO, dan ilmuwan untuk menyampaikan hasil penelitian.”Ancaman kematian, kesehatan, kelaparan harus disajikan. Sekitar 82 persen anak muda peduli krisis iklim. Ini menjadi modal,” katanya.
Perubahan demografi harus pahami tren anak muda untuk menjadikan gaya hidup hijau. Anak muda bisa masuk dalam ekosistem, dalam isu lingkungan dan menjadi isu bersama. Lantaran mereka juga merasakan dampaknya. “Jurnalis dan kaum muda bisa kolaborasi. Membangun jurnalisme warga dan jurnalisme advokasi,” ujarnya.
Survei Yayasan Indonesia Cerah dan Indikator Politik Indonesia yang dirilis pada Oktober 2021 menunjukkan, sebanyak 82 persen generasi muda mempunyai tingkat kepedulian yang tinggi terhadap isu perubahan iklim. Secara eksplisit, mereka khawatir perubahan iklim berdampak pada kerusakan lingkungan dan polusi udara di Indonesia.
Survei melibatkan 4.020 responden terdiri atas 3.216 responden usia 17-26 tahun dan 804 responden usia 27-35 tahun, yang berasal dari seluruh provinsi di Indonesia. Terdistribusi secara proporsional serta mewakili lebih dari 80 juta penduduk pada Pemilu 2024.